NU Online Demak
Feminisme merupakan sebuah gerakan yang beragam, di mana roh perjuangannya adalah memperdayakan perempuan. Keberdayaannya ada yang setara, ada yang mengungguli, bahkan ada yang membuat nilai-nilai yang sudah ditanamkan dalam syari’at Islam itu terdegredasi.
Demikian disampaikan Ning Imaz Fatimatuz Zahra, pada kanal YouTube Ponpes El Fath El Islami Kudus, Jumat (11/11/2022). Menurut putri pasangan KH Abdul Khaliq Ridwan dan Nyai Hj Eeng Sukaenah dari Pengasuh Pondok Pesantren Putri Al Ihsan Lirboyo Kediri itu, sebuah gerakan muncul karena adanya sebuah keresahan. Sehingga harus dikembalikan ke pemahaman awal pengukuhan dari syari’at, lalu mengimplementasikannya pada pemikiran-pemikiran yang bisa dijadikan problem solving.
“Selanjutnya perempuan dianggap makhluk ke dua, kemudian dimarginalkan, tidak punya kemerdekaan, tidak diberdayakan, dan akhirnya orang-orang yang tidak terima membuat gerakan pembanding dari ketidakadilan atau ketimpangan sosial yang ada,” ujarnya.
Menurut Ning Imaz, begitu sapaan akrabnya, jika menilik ke belakang mengenai kontruksi Islam saat datang membawa risalah di era Nabi Muhammad SAW, ternyata di situ derajat atau hak-hak wanita yang dulunya dianggap sebagai aib, diberi kesempatan sebagai hamba yang kaffah dengan kewajiban-kewajiban yang sama terhadap laki-laki.
Perempuan yang dulunya tidak mendapat warisan pada zaman jahiliyyah, setelah Nabi Muhammad datang membawa syari’at, perempuan boleh mendapat warisan, hak kehidupan serta hak eksistensinya di hargai. Seperti Ummul Mu’minin Sayyidah Khodijah sebagai perempuan berdaya ahli strategi dagang. Serta Sayyidah Aisyah sebagai seorang yang cerdas secara intelektual, bahkan diakui oleh para sahabat kecerdasannya di atas rata-rata.
“Islam secara kemanusiaan itu adil. Perempuan diperdayakan, bahkan Sayyidah Khodijah mendukung dakwah Nabi. Sehingga kita tau bahwa Islam berkembang tidak lepas dari peran perempuan,” ulas pengasuh Ponpes Al Ihsan Lirboyo itu.
Sayyidah Aisyah juga disebutkan, meriwayatkan lima ribu hadits, yang tidak bisa diriwayatkan sahabat laki-laki. Karena hadits tersebut mengenai relasi rumah tangga, haid, hingga hal-hal kewanitaan.
Namun, lanjut Ning Imaz, pada dasarnya harus disadari pula bahwa ketika perempuan diberdayakan dan diberikan kesempatan, ada batasan-batasannya. Islam itu moderat tidak berlebih-lebihan, tujuannya agar umat memiliki harmoni.
Seperti halnya ketika perempuan sudah menikah, menurut Ning Imaz, maka dia harus menghormati suami dengan catatan suami harus memberikan hak-haknya kepada perempuan. Sebab sejatinya perempuan itu merdeka, seperti halnya memperoleh kesempatan yang sama dalam menuntut ilmu, dan memperoleh kesetaraan yang sama dalam hadist.
“Sebab sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia, dan tidak ada batasan antara laki-laki dan perempuan,” kata istri Gus Rifqi Muslim Suyuti, Pengasuh Pondok Pesantren Mambaul Hikmah Kaliwungu Kendal tersebut.
Contoh lainnya adalah mengenai kewajiban perempuan untuk menutup aurat, serta kewajiban laki-laki menundukkan pandangan. Tentang hal itu, Ning Imaz berpendapat, adalah sebuah keadilan dan moderat dalam Islam. Islam menjaga martabat wanita, memuliakannya dengan mengatur bahwa tidak semua orang bisa menyentuh wanita.
“Wanita dijaga namun tidak dibatasi aktualisasi dirinya. Terbukti Ummul Mukminin kita mempunyai peran dalam peradaban serta dakwah Nabi. Untuk itu yang perlu diperjuangkan perempuan saat ini feminisme atau keberdayaan wanita bukan kesetaraan karena setara tidak akan sama,” ungkap cucu Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Jampasy, pengarang kitab Siraj At-thalibin itu.
Sedangkan dalam bidang politik dan sosial, pendidikan perempuan memiliki kedudukan yang sama. Namun ada banyak hal yang tidak bisa di setarakan seperti halnya dalam hal warisan, di mana laki-laki mendapatkan dua jatah sementara perempuan hanya satu. Itu karena laki-laki memiliki tanggungjawab keluarga.
“Maka kita harus menyadari bahwa Islam itu moderat. Sudah mengatur sedemikian rupa mengenai hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan. Keberadaan syari’at bukan untuk memarginalkan peran siapa pun. Namun justru memberikan kesempatan yang sama, walaupun ada batasan-batasannya,” pungkas Ning Imaz.
Pengirim : Ika fitriana
Editor: Choerul Rozak/Sr