NU Online Demak
Berikut ini adalah teks, transliterasi, terjemahan, dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat al-Baqarah ayat 195:
وَاَنْفِقُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِۛ وَاَحْسِنُوْاۛ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
Wa anfiqū fī sabīlillāhi wa lā tulqū bi’aidīkum ilat-tahlukati wa aḫsinū, innallāha yuḫibbul-muḫsinīn.
Artinya: “Berinfaklah di jalan Allah, janganlah jerumuskan dirimu ke dalam kebinasaan, dan berbuatbaiklah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Ragam Surat Tafsir Al-Baqarah Ayat 195 Secara ringkas Imam As-Suyuthi dalam Tafsirul Jalalain menjelaskan bahwa maksud ayat di atas ialah perintah untuk untuk berinfak di jalan Allah, dalam artian taat kepada-Nya baik dalam urusan jihad maupun lainnya.
Selain itu, ayat di atas juga berisi peringatan untuk berbuat ‘ihsan’ kepada umat Islam dalam berinfak dan tidak menjerumuskan diri pada kehancuran dengan menahan diri berinfak untuk jihad atau bahkan meninggalkannya yang dapat membuat musuh lebih kuat. (As-Suyuthi, Tafsirul Jalalain pada Hasyiyatus Shawi, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah:2013 M], juz I, halaman 119).
Imam Ahmad As-Shawi dalam Hasyiyah-nya memberi catatan bahwa maksud dari infak di atas tidak hanya menggunakan harta saja. Melainkan juga berinfak menggunakan tenaga dan pikiran untuk melakukan ketaatan-ketaatan kepada Allah.
وَاَنْفِقُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ أي ابذلوا أنفسكم وأموالكم في طاعته ومراضيه سواء الجهاد وغيره كصلة الرحم ومراعاة الضعفاء والفقراء من عباد الله
Artinya: “Berinfaklah di jalan Allah, maksudnya kerahkanlah jiwa dan harta kalian untuk melaksanakan ketaatan dan mencari ridha-Nya baik dalam jihad maupun lainnya seperti silaturahmi, merawat orang-orang lemah dan fakir dari hamba-hamba Allah”. (As-Shawi, Hasyiyatus Shawi ‘ala Tafsiril Jalalain, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2013 M], juz I, halaman 119).
Ayat 195 di atas masih berkaitan dengan ayat sebelumnya yang berisi perintah untuk mempertahankan diri dan berperang dengan orang-orang musyrik saat dalam perjalanan untuk melaksanakan umrah qadha pada bulan Haram (yang dimuliakan). Karenanya, penekanan pada penafsiran ayat di atas cenderung untuk melakukan infak untuk digunakan berjihad.
Berangkat dari hal ini, Syekh Nawawi Al-Bantani dalam tafsirnya juga lebih spesifik dalam menafsiri ‘berinfaklah di jalan Allah’. Syekh Nawawi menjelaskan maksud ayat ialah perintah kepada umat Islam saat itu yang hendak melaksanakan umrah qadha dan berpotensi berperang dengan orang-orang muysrik di bulan Haram untuk memberikan infaknya di jalan Allah untuk melaksanakan umrah qadha. (Nawawi, Marah Labid, juz I, halaman 45).
Meski ayat di atas turun masih berkaitan dengan ayat sebelumnya, namun pada hakikatnya merupakan perintah untuk berinfak secara totalitas di jalan , baik dalam urusan jihad maupun dalam urusan amal-amal ketaatan lainnya.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan kandungan ayat di atas secara umum dengan penjelasan berikut:
ومضمون الأية الأمر بالإنفاق في سبيل الله في سائر وجوه القربات ووجوه الطاعات, وخاصة صرف الأموال في قتال الأعداء وبذلها فيما يقوى به المسلمون على عدوهم, والإخبار عن ترك ذلك بأنه هلاك ودمار إن لزمه واعتاده ثم عطف بالأمر بالإحسان وهو أعلى مقامات الطاعات
Artinya: “Kandungan ayat di atas ialah perintah untuk berinfak di jalan Allah, dalam segala amal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah dan segala ketaatan. Terlebih memberikan hartanya untuk memerangi musuh-musuh dan menguatkan umat Islam untuk mengalahkan musuhnya. (Ayat di atas) juga berisi penjelasan bahwa meninggalkan berinfak merupakan kehancuran jika dibiasakan dan kemudian setelahnya diikutkan penjelasan terkait perintah berbuat baik yang merupakam predikat ketaatan yang paling tinggi”. (Ibnu Katsir, Tafsirul Qur’anil Azhim, [Riyadh, Dar Thayyibah lin Nasyri wat Tauzi’: 1999 M/ 1420 H] juz I, halaman 530).
Sementara itu, terkait ayat ‘wa lā tulqū bi’aidīkum ilat-tahlukati’ ada beberapa versi riwayat yang menjelaskan makna dan sebab turun ayat tersebut. Di antaranya versi riwayat Abu Hayyan dalam tafsirnya, yaitu mengutip riwayat dari Ikrimah menjelaskan bahwa ayat turun untuk kalangan Anshar yang menahan diri untuk menginfakkan hartanya di jalan Allah. Sedangkan dari riwayat Nu’man bin Basyir menjelaskan bahwa ayat ini turun untuk seorang laki-laki yang melakukan dosa, kemudian merasa dosanya tidak akan diampuni. (Abu Hayyan, Al-Bahrul Muhith, [Beirut, Darul Fikr, 1432 H/2010 M], juz II, halaman 251).
Dalam beberapa riwayat yang disebutkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya di antaranya menjelaskan bahwa ayat turun untuk segolongan kaum yang hendak melakukan jihad di jalan Allah, di mana satu di antaranya memiliki bekal lebih baik dari yang lain. Ia kemudian memberikan bekalnya kepada temannya yang membutuhkan. Sehingga tidak ada yang tersisa darinya sedikitpun, karena ia ingin menyenangkan temannya. Kemudian turunlah ayat ini.
Ada juga versi riwayat yang mengatakan ayat di atas turun untuk segolongan laki-laki yang di utus oleh Rasulullah tanpa membawa bekal. Kemudian mereka diperintahkan untuk meminta bekal kepada orang-orang yang memiliki lebihan harta dan tidak menjerumuskan diri pada kematian. (Ibnu Katsir, 1/530).
Sehingga ada 9 penafsiran lafal ‘at-tahlukat’ atau maksud dari kehancuran pada ayat di atas:
Kesimpulannya, secara umum ayat di atas memberikan anjuran kepada umat Islam untuk menyisihkan sebagian hartanya di jalan Allah, yakni untuk hal-hal yang bermanfaat, bernilai ibadah, ketaatan dan mencari ridha-Nya. Dengan menghindari sikap berlebihan dalam menginfakkan harta, sehingga mendapatkan predikat ‘ihsan’ yang dicintai oleh Allah. Wallahu a’lam
Ustadz Alwi Jamalulel Ubab, Alumni Pesantren KHAS Kempek Cirebon dan Mahasantri Ma’had Aly Saidussidiqiyah Jakarta.
Sumber : NU Online/redkasi