NU Online Demak
Salah satu bentuk keberhasilan seseorang dalam menjalani ibadah di bulan Ramadhan adalah tetap istiqamah dan konsisten melanjutkan ibadahnya setelah bulan suci. Ibadah-ibadah yang dilakukan pada bulan mulia tersebut tidak akan berkurang ketika memasuki bulan berikutnya (Syawal), ia akan terus melanjutkan dan membiasakan diri dengannya.
Salah satu contohnya adalah ibadah puasa. Seseorang bisa dikatakan sukses dengan sempurna dalam menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, jika ia juga bisa meneruskan konsistensi puasanya selama enam hari pada bulan Syawal. Dengan puasa Syawal, maka orang yang mengerjakannya akan mendapatkan pahala yang setara dengan pahala puasa selama satu tahun. Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah saw bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ، ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ اَلدَّهْرِ
Artinya, “Barangsiapa puasa Ramadhan, kemudian ia sertakan dengan puasa enam hari dari bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR Muslim).
Selain segudang pahala yang akan didapatkan oleh orang-orang yang puasa Syawal, puasa ini juga bisa menjadi tanda-tanda diterimanya puasa di bulan Ramadhan. Artinya, orang yang mengerjakan puasa enam hari di bulan Syawal menunjukkan bahwa puasanya selama Ramadhan diterima oleh Allah swt. Berkaitan dengan hal ini, Imam Ibnu Rajab dalam salah satu karyanya mengatakan:
عَلاَمَةُ قَبُوْلِ الطَّاعَةِ أَنْ تُوْصَلَ بِطَاعَةٍ بَعْدَهَا وَ عَلَامَةُ رَدِّهَا أَنْ تُوْصَلَ بِمَعْصِيَةٍ. مَا أَحْسَنَ الْحَسَنَةِ بَعْدَ الْحَسَنَةِ وَأَقْبَحَ السَّيِّئَةِ بَعْدَ الْحَسَنَةِ
Artinya, “Tanda-tanda diterimanya ketaatan adalah dengan konsisten terus beribadah setelahnya. Dan tanda-tanda ditolaknya ketaatan adalah dengan melakukan kemaksiatan setelahnya. Betapa mulianya suatu ibadah yang dilakukan setelah ibadah yang lain, dan betapa jeleknya sebuah keburukan yang dilakukan setelah ibadah.” (Ibnu Rajab, Lathaiful Ma’arif fima li Mawasimil ‘Am minal Wazhaif, [Daru Ibn Hazm: 2004], juz I, halaman 68).
Namun demikian, terkadang muncul pertanyaan perihal praktik puasa Syawal, sebab terkadang dengan kesibukan yang datang dengan tiba-tiba, banyak orang-orang yang melakukan puasa Syawal dengan cara terpisah. Misal, tanggal 2 puasa, tanggal 3, 4, 5, tidak puasa karena ada halangan, kemudian puasa lagi di tanggal 6, begitu juga seterusnya. Lantas, apakah praktik puasa seperti ini juga diperbolehkan dan mendapatkan keutamaan puasa Syawal? Mari kita bahas.
Puasa Syawal dengan Terpisah-pisah
Sayyid Abdullah al-Hadrami pernah ditanya mengenai puasa syawal yang dikerjakan secara terpisah. Kemudian beliau menjawab bahwa puasa Syawal tidak harus dilakukan dengan cara terus-menerus, dan boleh dilakukan dengan cara terpisah-pisah, yang penting semuanya dilakukan pada bulan Syawal. Dalam kitabnya disebutkan:
هَلْ يُشْتَرَطُ فَي صِيَامِ السِّتِّ مِنْ شَوَّالٍ اَلتَّوَالِي؟ اَلْجَوَابُ: اِنَّهُ لَا يُشْتَرَطُ فِيْهَا التَّوَالِي، وَيَكْفِيْكَ أَنْ تَصُوْمَ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ وَاِنْ كَانَتْ مُتَفَرِّقَةً، طَالَمَا وَقَعَتْ كُلُّهَا فِي الشَّهْرِ
Artinya, “Apakah disyaratkan dalam puasa Syawal untuk terus-menerus? Jawaban: sesungguhnya tidak disyaratkan dalam puasa Syawal untuk terus-menerus, dan cukup bagimu untuk puasa enam hari dari bulan Syawal sekalipun terpisah-pisah, sepanjang semua puasa tersebut dilakukan di dalam bulan ini (Syawal).” (Sayyid Abdullah al-Hadrami, al-Wajiz fi Ahkamis Shiyam wa Ma’ahu Fatawa Ramadhan, [Daru Hadramaut: 2011], halaman 139).
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa praktik puasa Syawal bisa dilakukan dengan dua cara, (1) yaitu dengan cara terus-menerus, misal dari tanggal 2 hingga tanggal 7 Syawal tanpa henti; dan (2) dengan cara terpisah, misal tanggal 2 Syawal puasa, esoknya tidak, dan di tanggal 4 Syawal kembali puasa, begitu juga seterusnya.
Kendati demikian, yang lebih utama dari dua cara di atas adalah yang terus-menerus tanpa dipisah-pisah. Pendapat ini sebagaimana ditulis oleh Imam Abu Al-Husain Yahya bin Abil Khair bin Salim Al-Umrani Al-Yamani (wafat 558 H), dalam salah satu karyanya disebutkan:
يُسْتَحَبُّ لِمَنْ صَامَ رَمَضَانَ أَنْ يَتَّبِعَهُ بِسِتٍّ مِنْ شَوَّالٍ. وَالْمُسْتَحَبُّ: أَنْ يَصُوْمَهَا مُتَتَابِعَةً، فَإِنْ صَامَهَا مُتَفَرِّقَةً جَازَ Artinya, “Disunnahkan bagi orang yang puasa di bulan Ramadhan untuk meneruskan dengan puasa enam hari dari bulan Syawal. Dan (praktik) yang dianjurkan, yaitu dengan berpuasa Syawal secara terus-menerus, dan jika puasa dengan cara terpisah, maka diperbolehkan.” (Imam Abul Husain, Al-Bayan fi Mazhabil Imam Asy-Syafi’i, [Darul Minhaj: 2000], juz III, halaman 548).
Alhasil, puasa Syawal boleh dilakukan dengan cara apapun, baik terus-menerus maupun terpisah-pisah, sepanjang semuanya masih dilakukan di dalam bulan Syawal. Dua cara ini sama-sama mendapatkan kesunnahan puasa pada bulan tersebut. Hanya saja, yang lebih utama adalah dengan cara puasa terus-menerus selama enam hari. Jika tidak bisa, maka tetap dianjurkan untuk puasa dengan cara terpisah. Demikian penjelasan perihal hukum puasa enam hari di bulan Syawal dengan cara terpisah-pisah. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.
Sunnatullah, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur
Sumber: NU Online Demak/redaksi