NU Online Demak
Ada sebuah video cuplikan ceramah yang mengatakan bahwa jimak atau hubungan suami-istri yang tidak sampai mengeluarkan sperma atau mani (orgasme), tidak perlu mandi wajib karena hanya membatalkan wudhu.
Hal itu jelas mengundang pertanyaan terutama dari kalangan awam. Apakah benar jimak atau hubungan badan yang tidak sampai mengeluarkan mani tak perlu mandi dan hanya membatalkan wudhu?
Sesungguhnya, masalah ini sudah dijelaskan oleh Syekh Nawawi dalam Kitab Kasyifatus Saja. Ia menyebutkan bahwa jimak atau masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan tetap wajib mandi besar, baik saat hubungan badan tersebut sampai keluar mani (orgasme) ataupun tidak.
Selain karena jimak, juga wajib mandi karena sebab keluar mani. Apa pun sebabnya, baik karena jimak maupun selainnya, seperti mimpi, onani, atau masturbasi.
واعلم أن خروج المني موجب للغسل سواء كان بدخول حشفة أم لا ودخول الحشفة موجب له سواء حصل مني أم لا فبينهمت عموم وخصوص من وجه ولا يجب الغسل بالاحتلام إلا ان أنزل
Artinya, “Ketahuilah bahwa keluar mani itu mewajibkan mandi besar, baik karena sebab masuknya kemaluan atau bukan. Kemudian masuknya kemaluan juga mewajibkan mandi, baik keluar mani atau tidak. Dengan kata lain, di antara keduanya ada umum khusus dari satu sisi. Hanya saja, tidak wajib mandi karena sebab mimpi (jimak) kecuali sampai keluar mani,” Syekh Nawawi Al-Bantani, Kasyifatus Saja Syarah Safinatun-Najah, halaman 22).
Karenanya, menurut Syekh Nawawi, dalam kasus masuknya kemaluan dan keluarnya mani sifatnya umum-khusus. Keluarnya sperma wajib mandi besar walaupun tidak ada hubungan badan, sedangkan masuknya kemaluan wajib mandi besar walaupun tidak keluar mani. Berbeda jika hubungan badannya hanya dalam mimpi. Ia tidak sampai wajib mandi kecuali sampai keluar sperma.
Adapun yang menjadi dasar wajibnya mandi besar karena hubungan badan, walau tidak keluar mani, adalah hadis Siti Aisyah:
إِذَا مَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ
Artinya, “Jika khitan (laki-laki) menyentuh khitan (perempuan), maka wajib mandi.” (HR. Malik).
Maksudnya, jika kemaluan laki-laki masuk ke dalam kemaluan perempuan, maka wajib mandi. Dalam hadits itu tidak disebutkan apakah saat masuknya kemaluan sampai keluar sperma atau tidak. Sehingga berlaku umum dan tidak disyaratkan saat mandi wajib setelah jimak harus keluar mani dahulu.
Walhasil, kondisi junub, menurut ulama Syafi’i, disebabkan oleh dua hal, yaitu jimak dan keluar mani. Adapun cara keluar mani bisa disebabkan oleh apa saja.
Selanjutnya, para ulama mazhab, khususnya ulama Syafi’i menjelaskan secara detil aktivitas jimak atau hubungan badan yang mewajibkan mandi junub. Menurut mereka, jimak tidak hanya terjadi dengan masuknya kemaluan laki-laki ke dalam kemaluan perempuan. Tetapi juga termasuk masuk ke kemaluan hewan atau kemaluan sendiri. Begitu pula definisi jimak, menurut merka tidak hanya pada kemaluan perempuan, termasuk pula ke dalam kemaluan hewan atau anus sendiri. Berikut penjelasannya.
أَمَّا الْجِمَاعُ، فَتَغْيِيبُ قَدْرِ الْحَشَفَةِ فِي أَيِّ فَرْجٍ كَانَ، سَوَاءٌ غُيِّبَ فِي فَرْجِ امْرَأَةٍ، أَوْ بَهِيمَةٍ، أَوْ دُبُرِهِمَا، أَوْ دُبُرِ رَجُلٍ، أَوْ خُنْثَى، صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ، حَيٍّ أَوْ مَيِّتٍ. وَيَجِبُ عَلَى الْمَرْأَةِ بِأَيِّ ذَكَرٍ دَخَلَ فَرْجَهَا، حَتَّى ذَكَرِ الْبَهِيمَةِ، وَالْمَيِّتِ، وَالصَّبِيِّ. وَعَلَى الرَّجُلِ الْمُولَجِ فِي دُبُرِهِ. وَلَا يَجِبِ إِعَادَةُ غَسْلِ الْمَيِّتِ الْمُولَجِ فِيهِ عَلَى الْأَصَحِّ
Artinya, “Yang dimaksud dengan jimak adalah memasukkan ukuran kepala kemaluan (laki-laki) ke dalam kemaluan apa saja, baik masuknya pada kemaluan perempuan, kemaluan binatang, kemaluan keduanya, anus laki-laki dan anus banci, baik anak-anak maupun dewasa, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Juga wajib mandi junub bagi perempuan karena kemaluan apa pun yang masuk ke dalam kemaluannya, termasuk kemaluan hewan, kemaluan orang meninggal, dan kemaluan anak-anak. Juga wajib mandi junub bagi laki-laki yang anusnya dimasuki kemaluan. Hanya saja tidak wajib mengulangi mandi mayit yang dimasuki kemaluan menurut pendapat yang paling kuat. (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Raudhatut Thalibin, [Beirut: Maktabah Islami], halaman 91).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Demikian penjelasan mengenai kondisi jimak yang mewajibkan mandi. Wallahu a’lam.
Ustadz M Tatam Wijaya, Penyuluh dan Petugas KUA Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.
Sumber : NU Online/Redaksi/Cr