Jakarta, NU Online Demak
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Ketum PBNU) KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menjelaskan, fiqih kerap dipahami sebagai sesuatu yang kaku dan absolut. Termasuk menyangkut aturan hukum perang, hubungan antaragama dan status minoritas, sehingga pembenaran untuk kekerasan atas nama agama masih banyak ditemukan.
Hal ini disampaikan pada Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) yang digelar di UIN Surabaya, Rabu (3/5/2023).
Forum yang mengangkat tema ‘Recontextualizing Fiqh for Equal Humanity and Sustainable Peace: Rethinking Fiqh for Non-Violent Religious Practices ‘, ini merupakan forum akademisi pengkajian Islam dunia.
“Banyak orang berpikir bahwa fiqih adalah syariah itu sendiri. Syariah agaknya lebih final, sementara fiqih itu relatif,” terang Gus Yahya.
Fiqih, menurut dia, dapat menciptakan berbagai subjek yang berbeda karena prinsip fiqih adalah hukum tidak berhenti mengikuti perubahan realitas.
“Posisi fiqih dapat berubah seiring dengan perubahan realitas,” ujar Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang, Jawa Tengah itu.
Oleh karena itu, Gus Yahya menilai perlu adanya reinterpretasi dan rekontekstualisasi agar kedudukan dan fungsi fiqih tetap relevan dengan perubahan zaman demi masa depan peradaban dunia yang lebih damai dan toleran.
Menyinggung realitas saat ini, Gus Yahya menilai bahwa Islam sebenarnya memiliki masalah krusial dalam memposisikan diri dengan realitas terkini.
“Masih banyak momentum dan di berbagai tempat di dunia di mana Islam entah bagaimana menjadi salah satu sumber atau setidaknya memiliki peran besar dalam menciptakan dinamika sosial politik,” kata kiai kelahiran Rembang, 16 Februari 1966 tersebut.
“Berbicara tentang Timur Tengah dan berbagai tempat di Barat, Islam menjadi salah satu sumber masalah dan ini fakta,” tambah dia.
Namun, Gus Yahya mengira bahwa persoalan ini belum tuntas karena masih adanya sikap tertutup dalam mengakui akar persoalan yang disebabkan oleh agama.
“Kita terkadang sangat takut untuk mengakuinya. Itu adalah faktanya. Yang perlu kita lakukan sekarang seharusnya adalah memahami penyebabnya. Mengapa Islam terus menjadi masalah,” ungkapnya.
Sumber: NU Online Demak/redaksi/Cr