NU Online Demak
Khutbah Jumat ini memaparkan larangan body shaming atau mengolok-olok fisik orang lain dalam Islam. Body shaming sering terjadi baik disengaja atau tidak; baik di dunia nyata maupun di dunia maya. Karena itu perlu disadari bahwa Islam melarang body shaming secara tegas.
Teks khutbah Jumat ini berjudul “Khutbah Jumat: Larangan Body Shaming atau Mengolok-olok Fisik Orang Lain dalam Islam”. Untuk mencetak naskah khutbah Jumat ini, silakan klik ikon print berwarna merah di atas atau bawah artikel ini (pada tampilan desktop). Semoga bermanfaat!
Khutbah I
اَلْحَمْدُ للهِ، اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَنْعَمَ عَلَيْنَا بِصِحَّةِ الْأَرْوَاحِ وَالْأَبْدَانِ. اَشْهَدُ اَنْ لَا اِلَهَ اِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُه، الَّذِيْ بَعَثَهُ اللهُ الْمَلِكُ الْقُدُّوْسُ الْمَنَّانُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بإِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الْقِيَامِ. أَمَّا بَعْدُ
فَيَا اَيُهَا النَّاسُ، أُوْصِيْنِيْ نَفْسِيْ وَاِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ، يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ وَكُوْنُوْا مَعَ الصَّادِقِيْنَ
Mas’asyiral hadirin, hafizhakumullah
Pada kesempatan yang mulia ini dan di tempat yang mulia ini, kami berwasiat kepada pribadi kami sendiri, juga kepada para hadirin sekalian, marilah kita senantiasa meningkatkan takwa kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan cara berusaha selalu mengerjakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Mas’asyiral hadirin, hafizhakumullah
Pada siang hari ini kita diberikan kenikmatan yang luar biasa oleh Allah berupa nikmat iman, islam, dan kesehatan jasmani, sehingga kita bisa melaksanakan ibadah shalat Jumat, Alhamdulillahi rabbil alamin. Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan ke pangkuan Nabi agung Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam.
Hadirin yang mulia
Body shaming merupakan tindakan yang merendahkan, menghakimi, atau mengkritik penampilan tubuh seseorang, baik itu berdasarkan berat badan, tinggi badan, bentuk tubuh, atau atribut fisik lainnya.
Sebagian orang terperangkap dalam pola pikir yang memandang penampilan fisik sebagai patokan kesempurnaan seseorang. Namun, sebenarnya setiap individu diciptakan dalam keunikan dan keindahan yang berbeda-beda. Ini adalah bukti keagungan penciptaan Allah subhanahu wa ta’ala.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِىٓ أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
Artinya, “Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” (QS At-Tin: 4).
Firman Allah ini mengajarkan kepada kita bahwa setiap individu telah diberikan bentuk fisik yang sempurna sesuai dengan rencana-Nya. Sempurna menurut pandangan Allah, bukan menurut pandangan kita. Namun, sebagian orang baik mereka sadari atau tidak, yang mempunyai kebiasaan, menjadi semacam budaya, menghakimi dan merendahkan penampilan fisik orang lain.
Mengomentari bentuk tubuh, berat badan, atau atribut fisik lainnya, hanya akan melukai hati dan mengurangi harga diri seseorang. Hal ini bisa saja terjadi dalam bingkai candaan atau bahkan serius. Walaupun dalam balutan canda, baik di atas mimbar atau di luar mimbar, di media sosial atau di dunia nyata, body shaming adalah tindakan yang wajib dihindari, karena merendahkan fisik seseorang sama dengan merendahkan siapa yang menciptakan.
Kita boleh bercanda tapi jangan sampai menertawakan bentuk fisik, atau pun bentuk suara, yang kesemuanya adalah anugerah yang diberikan Allah subhanahu wa ta’ala.
Dalam sebuah hadits diceritakan, suatu ketika Abdullah bin Mas’ud memanjat pohon arok yang akan ia jadikan sebagai alat siwak, sedangkan Abdullah bin Mas’ud ini orang yang kedua betisnya kecil. Di tengah ia mengambil kayu itu, betisnya tersingkap sehingga orang-orang yang ada di sekitar situ menertawakannya.
Hal ini diketahui langsung oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam. Rasul kemudian bertanya kepada orang-orang yang hadir di situ:
مِمَّ تَضْحَكُونَ؟
“Ada sebab apa kalian tertawa?”,
Tanya Rasul.
قَالُوا
Mereka menjawab:
يَا نَبِيَّ اللهِ، مِنْ دِقَّةِ سَاقَيْهِ
“Ya Nabiyyallah, karena kecilnya kedua betis Abdullah bin Mas’ud.”
فَقَالَ
Mendengar jawaban ini, Rasul lalu bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَهُمَا أَثْقَلُ فِي الْمِيزَانِ مِنْ أُحُدٍ
Artinya, “Demi Dzat yang jiwaku berada di dalam genggaman-Nya, sungguh kedua betis Abdullah bin Mas’ud itu lebih berat di timbangannya daripada gunung Uhud.” (HR. Ahmad).
Ma’asyiral hadhirin, hafizhakumullah,
Jika kita melihat hadits tadi, Rasululullah dengan jelas melarang orang menertawakan betis Abdullah bin Mas’ud padahal sebatas menertawakan, tidak sampai keluar perkataan mengomentari kecilnya betis Abdullah bin Mas’ud. Namun, dengan tertawa saja, jika itu menyakitkan orang lain, hukumnya dilarang, walaupun jika kita lihat hadits tadi, Abdullah bin Mas’ud tidak protes. Ia hanya diam saja.
Kita perlu hati-hati di saat kita menertawakan, atau mengomentari kekurangan orang secara fisik. Kita tidak bisa mengukur kalau orang yang kita tertawakan itu diam, berarti dia tidak sakit, kalau dia protes, berarti tersinggung, tidak bisa seperti ini. Yang namanya sakit hati itu di dalam, bukan di dalam. Tidak mesti orang yang sakit hati, kemudian ia ungkapkan, atau ia ekspresikan kesakitannya. Jangan-jangan orang yang kita sakiti itu sebenarnya hatinya sakit, namun ia tidak berani protes atau justru malah atas kebaikannya, ia khawatir jika ia marah, malah mempermalukan kita yang menertawakan. Na’udzubillah.
Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Kitab Az-Zawajir menyebutkan jika menyakiti hati orang muslim adalah sebuah tindakan dosa besar. Begitu pula sahabat Ibnu Abbas radliyallahu ’anhu sebagaimana disampaikan oleh Imam Ghazali menyebutkan, senyum merendahkan dan tertawa penghinaan terhadap orang lain merupakan dosa yang pasti tercatat. Kalau senyum adalah dosa kecil, maka tertawa adalah dosa besar.
وَقَالَ اِبْنُ عَبَّاسٍ فِيْ قَوْلِهِ تَعَالَى يَا وَيْلَتَنَا مَالِ هَٰذَا الْكِتَابِ لَا يُغَادِرُ صَغِيرَةً وَلَا كَبِيرَةً إِلَّا أَحْصَاهَا
Artinya, “Sahabat Ibnu Abbas RA perihal firman Allah SWT ‘Aduhai celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak juga yang besar, melainkan ia mencatat semuanya,’ (Surat Al-Kahfi ayat 49).
Beliau mengomentari:
إِنّ الصَّغِيْرَةَ التَّبَسُّمُ بِالْاِسْتِهْزَاءِ بِالْمُؤْمِنِ
Artinya, “Sesungguhnya yang masuk bagian dosa kecil adalah senyum yang bermakna mengejek, merendahkan terhadap orang yang beriman.
” وَالْكَبِيْرَةَ الْقَهْقَهَةُ بِذَلِكَ “
Sedangkan ‘yang besar’ adalah tertawa terbahak sebagai yang mempunyai nilai ejekan terhadap orang beriman.
” وَهَذَا إِشَارَةٌ إِلَى أَنَّ الضَّحْكَ عَلَى النَّاسِ مِنْ جُمْلَةِ الذُّنُوْبِ وَالْكَبَائِرِ
Artinya, “Hal ini sudah cukup sebagai isyarat bahwa menertawakan orang lain sebagai ejekan termasuk dosa besar.”
Ma’asyiral hadirin rahimakumullah
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam mengingatkan kita di berbagai hadits tentang akhlak-akhlak yang harus kita perhatikan. Misalnya hadits riwayat Abud Darda’:
لَيْسَ شَيْءٌ أَثْقَلَ فِي الْمِيزَانِ مِنَ الخُلُقِ الْحَسَنِ
Artinya, “Tidak ada sesuatu yang lebih berat dalam timbangan amal kita daripada akhlak yang baik.”
Minimalnya, apabila kita belum mampu berkata baik, belum bisa menyampaikan kata-kata yang membuat orang lain senang, marilah kita diam saja, sebagaimana perintah Nabi shallallahu ’alaihi wasallam:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
Artinya, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah ia mengatakan yang baik atau hendaklah ia diam.” (HR Al-Bukhari).
Sebagai individu yang mengamalkan ajaran agama Islam, kita diperintahkan untuk saling mencintai, menghormati, dan mendukung satu sama lain.
Syekh Zainuddin mengajak kita untuk mencintai orang lain sebagai manusia mencintai diri sendiri supaya kita mendapatkan surganya Allah kelak.
وَاَحْبِبِ النَّاسَ مَا تُحِبُّ لِنَفْسِكَ # حَتَّى تَكُوْنَ بِجَنَّةٍ تَتَنَعَّمُ
Artinya, “Cintailah manusia lain sebagaimana kau mencintai dirimu sendiri/agar kau kelak mencecap kenikmatan surga.”
Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Artinya, “Tidak beriman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Dalam akhir khutbah ini, marilah kita bersama-sama berkomitmen untuk menjadi agen perubahan yang membawa dampak positif dalam masyarakat. Jangan biarkan tindakan body shaming merusak hati dan pikiran orang lain. Jadilah individu yang membawa cahaya kasih sayang dan penghargaan terhadap keindahan penciptaan Allah subhanahu wa ta’ala. Semoga Allah memberikan hidayah dan kekuatan kepada kita semua untuk melawan sikap dan perilaku yang merendahkan orang lain. Amin.
Semoga dunia yang kita huni ini selalu damai, dilindungi oleh Allah dari segala macam pertikaian sehingga kita hidup damai, bisa beribadah kepada Allah dengan baik, dan pada saatnya nanti kita dipanggil oleh Allah, akan mati dalam keadaan husnul khatimah. Amin ya Rabbal alamin.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ هَذَا الْيَوْمِ الْكَرِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَاِيَاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصَّدَقَةِ وَتِلَاوَةِ الْقُرْاَنِ وَجَمِيْعِ الطَّاعَاتِ، وَتَقَبَّلَ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ جَمِيْعَ أَعْمَالِنَا إِنَّهُ هُوَ الْحَكِيْمُ الْعَلِيْمُ، أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، اِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Khutbah II
اَلْحَمْدُ لِلهِ حَمْدًا كَمَا أَمَرَ. أَشْهَدُ أَنْ لَااِلَهَ اِلَّا الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، اِلَهٌ لَمْ يَزَلْ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيْلًا. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وَحَبِيْبُهُ وَخَلِيْلُهُ، أَكْرَمِ الْأَوَّلِيْنَ وَالْأَخِرِيْنَ، اَلْمَبْعُوْثِ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ اللهم صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلىَ أَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ كَانَ لَهُمْ مِنَ التَّابِعِيْنَ، صَلَاةً دَائِمَةً بِدَوَامِ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَذَرُوْا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ. وَحَافِظُوْا عَلَى الطَّاعَةِ وَحُضُوْرِ الْجُمْعَةِ وَالْجَمَاعَةِ وَالصَّوْمِ وَجَمِيْعِ الْمَأْمُوْرَاتِ وَالْوَاجِبَاتِ اللهم اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اَلْأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وِالْأَمْوَاتِ. اللهم ادْفَعْ عَنَّا الْبَلَاءَ وَالْغَلَاءَ وَالْوَبَاءَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالْبَغْيَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالْمِحَنَ، مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَةً، اِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ عِبَادَ اللهِ، اِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ بِالْعَدْلِ وَالْاِحْسَانِ وَاِيْتَاءِ ذِيْ الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ، يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ. فَاذْكُرُوْا اللهَ الْعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
Ustadz Ahmad Mundzir, Pengajar di Pesantren Raudhatul Qur’an an-Nasimiyyah, Kota Semarang.
Sumber : NU Online/redaksi/cr