Jakarta, NU Online Demak
Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Anwar Iskandar mengimbau agar warga NU jangan sampai tidak berpolitik. Warga NU harus membuka mata dan paham tentang politik. Hanya saja, perlu dipahami bahwa politik itu ada dua macam: ada high politic (politik tingkat tinggi), dan ada low politic (politik tingkat rendah).
“Politik tingkat tinggi itu apa? Ya ini, mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mempertahakan NKRI, Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Bhineka Tunggal Ika. Itu high politic,” ungkapnya kepada 100-an kader Fatayat NU di Gedung PBNU Jakarta, Kamis (7/9/2023).
“High politic yang kedua apa? Fatsun. Bagaimana politik mesti dijalankan atas prinsip-prinsip makarimul akhlak. Al-Qur’an mengatakan: Innallāha ya`murukum an tu`addul-amānāti ilā ahlihā wa iżā ḥakamtum bainan-nāsi an taḥkumụ bil-‘adl, (QS. An-Nisa: 58). Itu (ayat) politik itu,” sambungnya.
Kiai Anwar menjelaskan, orang-orang yang beriman telah diperintahkan Allah agar jujur dan amanah dalam memegang politik itu. Berpegang kepada kejujuran, keadilan, prinsip-prinsip kebenaran serta ukhuwah, itu adalah bagian dari akhlak politik yang merupakan high politic. Dan, untuk high politic ini, lanjutnya, tidak boleh orang NU tidak paham, tidak boleh orang NU tidak berpegang di sana.
“Kalau politik praktis, itu bukan urusan (lembaga) NU, itu urusan warga NU yang ada di partai-partai politik. Untuk dipahami itu semuanya. Jadi urusan mencalonkan DPR, Gubernur, Bupati, Presiden, itu bukan urusannya NU. Itu urusannya partai-partai politik,” terang kiai yang juga Ketua Umum MUI ini.
Meski secara organisasi atau lembaga NU netral dari politik praktis, Kiai Anwar menambahkan bahwa sebagaian kader atau orang NU harus ada yang di partai-partai politik itu. Harus ada orang NU yang ada di DPR, DPRD, Bupati, Wali Kota, Menteri, dan lain-lain, bahkan bila perlu menjadi Presiden.
“Ya tidak harus semua, sebagian, kalau memang punya bakat, punya keahlian, punya kemauan, punya kemampuan, ya Bismillah,” dorongnya.
Hal itu diperlukan agar kader-kader NU juga duduk kursi-kursi penting yang akan melahirkan undang-undang, peraturan, serta kebijakan berbangsa dan bernegara yang sesuai dengan tujuan dan fungsi politik.
Tujuan dan fungsi politik itu baik
Sebelumnya, Pengasuh Pesantren Al-Amin Ngasinan, Kediri, Jawa Timur, itu menegaskan bahwa pada dasarnya politik itu positif.
“Politik itu bukan sesuatu yang jelek. Politik itu bukan sesuatu yang jahat. Politik itu sesuatu yang baik, karena dari politik akan lahir konsep-konsep tentang kemaslahatan-kemaslahatan bagi seluruh warga bangsa,” tuturnya.
Kata qawa’iadul fiqhiyyah yang diajarkan di pesantren-pesantren, kata Kiai Anwar, tasharruful imam ‘alar ra’iyyah manutun bil mashlahahatil mar’iyyah, bahwa politik itu menuju mashlahatil mar’iyyah.
Menurut Kiai Anwar, politik itu baik. Kalau tidak, tak mungkin Nabi Sulaiman, Nabi Yusuf, Nabi Dawud, bahkan Nabi Muhammad SAW diberi kekuasaan oleh Allah SWT.
“Jadi politik itu akan baik selama-lamanya, karena dalam politik akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang membawa kemanfaatan untuk agama dan untuk masyarakat,” terangnya.
Bahkan, menurut alumnus Pesantren Lirboyo itu, di dalam kitab politiknya pesantren yaitu Al-Ahkam As-Sulthaniyyah karya Imam Al-Mawardi, siyasah atau politik itu didefinisikan: As-siyasatu maudlu’atun li khilafatin nubuwwah fi hirasatit din wa siyasatit dunya. “Politik itu berfungsi untuk menjaga agama dan untuk mengatur dunia ini supaya baik. Bagaimana keamanannya baik, ekonominya baik, pendidikannya baik, kesehatannya baik, itu politik,” terangnya.
Sumber : NU Online