NU Online Demak
Definisi fatwa
Fatwa menempati posisi yang mulia dan mempunyai peran yang teramat penting dalam Syariat Islam. Allah SWT tidak akan membiarkan umat manusia dalam kebingungan selagi mau belajar dan bertanya.
Rasulullah Saw telah mewariskan ilmu tentang metode memahami hukum-hukum Allah SWT yang diberlakukan kepada umat manusia, dan juga telah melatih para sahabat untuk menjawab persoalan umat yang berkembang pada saat itu, sehingga Rasulullah Saw menjadi tenang karena sepeninggal beliau Saw sudah siap kader-kader sahabat yang akan melanjutkan tugas-tugas kenabian khususnya dalam bidang fatwa. Sehingga syariat Islam terjaga relevansinya di sepanjang masa.
Dr Muhtar muhsin muhammad, sekjen lembaga dar al ifta Mesir dalam disertasinya yang berjudul ;
“مناهج الإفتاء في عالمنا المعاصر وعلاقتها بالمقاصد الشرعية”
yang mendapat nilai mumtaz, setelah memaparkan penjelasan dan pandangan dari Syaikh Kholid al Azhari, Syaikh Hasan al ‘atthor, Syaikh Zakaria al Anshori, Imam Qorrofi, Imam Syarofuddin an Nawawi dan Prof Dr. Syaikh Ali jum’ah tentang definisi fatwa , beliau menyimpulkan bahwa definisi fatwa adalah:
“بيان الأحكام الشرعية و تطبيقها على واقعة من غير إلزام”
“Menjelaskan Hukum-hukum Syara’ dan menerapkannya terhadap persoalan aktual tanpa ada unsur mengikat”.
Manhaj dalam berfatwa
Sebelum berbicara lebih jauh tentang kajian ilmu pengetahuan, pemahaman tentang manhaj berfikir atau metode yang berkaitan dengan ilmu tersebut harus diletakkan dulu diawal pembahasan. Hal ini bertujuan untuk mengawal kajian sebuah ilmu tetap berada dijalur yang semestinya, tidak berkembang liar tanpa ujung yang jelas. Dan menolak fantasi -fantasi pikiran liar akibat lemahnya basic pengetahuan suatu bidang ilmu.
Dr Muhtar Muhsin Muhammad menjelaskan definisi manhaj dalam berfatwa adalah :
“خطة منظمة لعدة عمليات ذهنية وحسية بغية الوصول إلى الحكم الشرعي وتنزيله على الواقع بواسطة عدد من القواعد العامة التي مصدرها الشرع الشريف ”
“Langkah -langkah sistematis untuk aneka kerja teoritis dan empiris guna mencapai hukum syar’i dan menerapkannya pada kasus aktual melalui berbagai kaidah-kaidah umum yang bersumber dari syariat yang mulia “.
Dr Muhtar Muhsin Muhammad menjelaskan seorang mufti harus membekali diri dengan 4 ilmu sebagai manhaj berfikir dalam berfatwa:
Pertama, Ilmu Ushul fiqh; ilmu Ushul fiqh adalah logika berfikir yang diciptakan oleh para pendiri madzhab untuk memahami nash -nash syar’i dengan cara yang benar. Ilmu Ushul fiqh juga sekaligus sebagai batas pemisah antara nash -nash syar’i dengan logika-logika ngawur yang dilontarkan oleh ahlul ahwa’ seperti kaum khawarij, syi’ah dan mu’tazilah.
Ilmu Ushul fiqh pada era dewasa ini lebih berperan pada masalah analogi hukum (qiyas) dengan pertimbangan maqhosidus syari’ah yang merupakan bagian inti dalam ilmu Ushul fiqh.
Kedua, Qoidah fiqih; peran qoidah fiqih dalam hal ini adalah pada pemetaan masail fiqhiyyah secara umum dan menyibak makna yang menjadi landasan sebuah hukum. Kemudian dari situ dimungkinkan melakukan ilhaq masail persoalan baru dengan persoalan yang sudah dinyatakan hukumnya tidak melalui jalan qiyas yang butuh terhadap ‘illatul hukmi, tapi lebih kepada penyamaan dari sisi makna. Inilah tujuan qoidah fiqih; yaitu potensi takhrijul masail fiqhiyyah dan ilhaq.
Ketiga, Ilmu Kalam ; peran ilmu kalam dalam hal ini adalah menjawab persoalan yang terkait dengan aqidah , yakni menjelaskan hujjah dan menolak syubhat berdasarkan i’tiqod ahlus sunnah wal jamaah.
Keempat, Ilmu tasawuf ; ilmu tasawuf adalah adab yang harus dimiliki seorang mufti, terutama sifat jujur dalam menyampaikan riwayat hukum, sifat welas asih terhadap sesama yang berimplikasi pada putusan hukum yang moderat, dan menjaga rahasia/aib mustafti ( pemohon fatwa).
Prof. Dr. Syauqi ‘alam , mufti agung mesir, menambahkan; seorang mufti harus menelaah pengetahuan kontemporer, seperti perkembangan ilmu sosial; tradisi dan kebudayaannya. Bagaimana asal usulnya dan pengaruhnya terhadap kehidupan sosial.
Tak kalah penting adalah perkembangan teknologi, Ilmu kedokteran, sistem perdagangan modern, sistem politik dan sistem tata negara yang berbeda jauh dengan era para fuqoha masa lalu.
Rukun fatwa.
Dr Muhtar Muhsin Muhammad menambahkan, fatwa mempunyai 3 rukun/ unsur penting sebagaimana berikut ini:
1). Meneliti kasus (عنصر التحقق )
Seorang mufti harus meneliti sebuah kasus dan detail-detailnya dengan sebaik-baiknya. Rukun yang pertama ini adalah unsur yang sangat rawan sekali, karena salah dan benar dalam mengambil keputusan hukum itu berawal dari sejauh mana mendiskripsikan masalah dengan baik.
2) Identifikasi hukum (عنصر التعرف)
Langkah berikutnya bagi mufti adalah meng-identifikasi hukum yang sesuai dengan kasus yang sedang dibahas. Caranya adalah dengan melacak referensi dari pandangan -pandangan (عبارات ) ulama yang tersurat dalam madzhab – madzhab fiqih, atau dari Al-Qur’an, hadits, ijma’ , qiyas dll , yang bisa ditemukan.
3) Penerapan dalil (عنصر التطبيق)
Unsur yang ketiga ini menjadikan fatwa bekerja dalam ranahnya pada sebuah kasus, setelah sebelumnya hanya berupa kaidah- kaidah teoritis yang diolah dalam isi kepala mufti . Pada fase ini seorang mufti harus menjaga kaidah – kaidah umum dan maqhosidus syariah dalam penerapan hukum.
Kaderisasi Mufti
Mufti tidak bisa dibentuk secara instant, tapi harus melalui proses panjang dan sungguh -sungguh yang setidaknya meliputi 3 fase:
1). Belajar (التعلم)
Seorang mufti harus meniti tangga-tangga keilmuan, dimana pada tangga ini calon mufti harus melewati atau menguasai dasar – dasar ilmu agama. Caranya adalah dengan mulazamah dengan para guru yang ‘alim ‘allamah dalam rentang waktu yang cukup sehingga nampak kecakapan yang baik dalam memahami ilmu – ilmu syariat dan ilmu -ilmu bahasa arab.
2). Pelatihan (التدريب)
Setelah keluar dan dinyatakan lulus dibawah bimbingan para guru, calon mufti harus mengikuti dengan aktif majlis -majlis Ifta’ dimana dalam majlis tersebut diajukan fatwa kepada para guru yang mutqin. Kemudian dia harus memperhatikan dan mencatat bagaimana proses lahirnya fatwa itu terjadi, dan langkah -langkah apa saja yang ditempuh oleh para guru mufti. Dan disaat sama dia harus menyiapkan diri untuk menjawab persoalan agama dihadapan guru
Mufti Untuk Ditashih.
Fase ini adalah faktor yang paling penting untuk kaderisasi mufti, sebab banyak sekali lulusan pendidikan syariah tidak mempunyai kompetensi dalam bidang fatwa kecuali setelah menyelam dalam pelatihan fatwa yang dapat mengasah dan menajamkan kemampuan mereka dalam ranah fatwa.
3). Mendidik diri (التربية)
Setelah melewati fase belajar dan pelatihan Ifta’ , calon mufti harus menghiasi diri dengan akhlak yang bagus, tidak cukup hanya membaca kitab saja, tapi harus meniti jalan membersihkan hati yang digariskan oleh para ulama tasawuf.
Sebagai contoh, seorang mufti harus memiliki sifat welas asih dengan sesama , sehingga hatinya menjadi terbuka, sabar dan telaten menyimak keluhan para pemohon fatwa. Dan pada saat yang sama dapat memberikan jawaban yang bisa membawa maslahat untuk urusan dunia dan agamanya, tidak terlalu ketat juga tidak terlalu longgar.
Wallahu a’lam bis showab
Penulis: H. Afif Ahmad (Pengurus LBMNU Demak)