Sabtu Pahing, 16 Nov 2024 / 14 Jumadil Awwal 1446 H
x
Banner

Ketum PBNU: LP Ma’arif Dikembangkan Dengan Model Pendidikan Yang Integral Dengan Memasukkan Komponen Pengembangan Kapasitas Rohani

waktu baca 4 menit
Choerul Rozak
Kamis, 23 Nov 2023 14:41
0
405

Jakarta, NU Online Demak

Nahdlatul Ulama bukan hanya organisasi yang sekadar menjalankan berbagai macam kegiatan seperti organisasi-organisasi lainnya. NU didirikan dengan mengemban nilai-nilai yang sangat fundamental atau mendasar. Bahkan, nilai-nilai yang diemban NU itu yang paling mendasar adalah terkait dengan pendidikan, karena NU adalah organisasi ulama. Orang tidak bisa menjadi ulama kalau tidak dididik terlebih dahulu.

Demikian disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf saat memberi pidato arahan dalam pembukaan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Lembaga Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (LP Ma’arif NU) di Jakarta, Senin lalu.

“Jadi, nilai-nilai ke-Nahdlatul Ulama-an itu pasti yang paling fundamental terkait dengan pendidikan,” tegas Gus Yahya, begitu ia akrab disapa.

Nilai-nilai pendidikan dalam NU itu, lanjutnya, adalah memandang pendidikan sebagai ikhtiar paripurna yang komprehensif, dengan kata lain pendidikan itu bukan hanya masalah kognitif. Juga bukan hanya soal mengasah kapasitas intelektual dari anak didik, bukan hanya sekadar transfer pengetahuan. Tapi pendidikan itu, pada saat yang sama juga sekaligus merupakan ikhtiar untuk membangun kapasitas rohani dari anak didik.

Menurut Gus Yahya, yang namanya mendidik itu tidak hanya mengajar, menyampaikan informasi-informasi tentang ilmu pengetahuan, tapi juga me-nyuwuk atau mendoakan anak didik supaya kapasitas rohaninya berkembang. Dan justru di situlah, menurutnya, inti pendidikan di lingkungan NU soal kapasitas rohani, karena segala kapasitas yang lain itu sebetulnya berakar pada kapasitas rohani.

Oleh karena itu, Ketua Umum PBNU itu ingin melihat bahwa di lingkungan LP Ma’arif dikembangkan model pendidikan yang secara integral memasukkan komponen pengembangan kapasitas rohani bagi anak-anak didik, yang menurutnya eksistensial sekali, hingga berpesan untuk jangan sampai dilupakan. Ini sebabnya, lanjut Gus Yahya, lembaga ini dinamai Lembaga Pendidikan Ma’arif, tidak disebut dengan Lembaga Pendidikan Ma’alim, atau Tarbiah, misalnya, tetapi Ma’arif.

“Ma’arif itu dari asal kata ‘Arafa, yang berarti mengenal. Ma’arif itu jamak dari Ma’rifat. Dan penggunaan paling banyak dari kalimah Ma’rifat itu adalah untuk menyebut Ma’rifatullah, pengenalan kepada Sang Pencipta. Maka pengetahuan yang kita ajarkan kepada anak didik, berbagai macam komponen pendidikan yang kita berikan kepada anak didik kita ini, semuanya harus berhulu dan bermuara kepada Ma’rifatullah. Ini fundamental dan eksistensial,” urainya.

“Tidak ada gunanya Nahdlatul Ulama punya lembaga pendidikan kalau tidak dibawa ke arah Ma’rifatullah,” tegas Gus Yahya.

Pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibien, Leteh, Rembang, Jawa Tengah, itu, kemudian mengungkap salah satu dasarnya, yaitu karena dalam Kitab Minhajul Abidin, Syekh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali mengutip satu riwayat yang konon berasal dari Nabi Nuh as yang pada waktu itu dalam suatu dialog dengan Allah Swt, menanyakan “Apa ilmu yang manfaat itu? Ilmu apakah, ilmu bagaimanakah yang dianggap sebagai ilmu yang manfaat?” Dan jawabannya adalah, bahwa “ilmu yang manfaat itu adalah ilmu yang memperkuat taqwallah, memperkuat takwa kepada Allah, memperdekat seorang murid kepada tujuan dari keberadaannya, yaitu Allah Swt.”

Maka, hemat Gus Yahya, Pendidikan untuk meningkatkan Rohani menuju ini harus dilembagakan di lingkungan lembaga-lembaga pendidikan Ma’arif.

“Silakan dicari model yang cocok untuk itu. Mungkin bisa berbeda-beda, mulai dari Raudhatul Athfal, dari Madrasah Ibtidaiyah dan Sekolah Dasar, sampai Tsanawiyah dan SMP sederajat, Aliyah dan SLTA yang lainnya, bagaimana model pendidikan ruhani yang cocok,” imbaunya.

Dengan adanya pendidikan yang mengarah kepada peningkatan kapasitas rohani seperti paparan di atas, Gus Yahya ingin supaya ada bedanya anak-anak yang dididik oleh NU dengan yang dididik di tempat lain.

Selain itu, menurutnya, pendidikan ini juga akan menentukan bagaimana wajah NU di masa depan. Oleh karena, suplai-suplai kader NU harusnya paling banyak datang dari lingkungan lembaga-lembaga pendidikan NU.

“Dan untuk beraktivitas, apalagi mengelola, bahkan lebih-lebih lagi memimpin Nahdlatul Ulama ini, kapasitas-kapasitas profan, kapasitas intelektual, keterampilan manajemen, keterampilan politik, dan lain sebagainya, itu tidak cukup, harus disertai dengan kapasitas rohani yang sungguh-sungguh bisa diandalkan. Kalau tidak, saya kira Nahdlatul Ulama yang begini raksasa ini tidak akan bisa diurus dengan baik,” ucap Gus Yahya.

Sumber: NU Online/Red

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap lengkapi captcha sekali lagi.

LAINNYA
x