Demak-NU Online Demak
Ahmad Kastono Abdullah Hasan atau yang lebih akrab disapa Aka Hasan meneliti Kerajaan Demak Bintoro dan Walisongo melalui tujuh metode. Karena metode yang umum dipakai oleh para peneliti, belum mampu mengungkap fakta dan realita sejarah Kerajaan Demak Bintoro dan Walisongo yang sebenarnya. Banyak peneliti dan penulis buku sejarah tentang Kerajaan Demak Bintoro dan Walisongo yang terjebak naskah Babad dan Serat tanpa menganalisa dengan logika sejarah yang seharusnya menjadi pertimbangan oleh seorang peneliti.
Hal itu disampaikannya saat acara ‘Diskusi Misteri Kerajaan Demak’ dalam forum Suluk Senen Pahingan di pendopo Joglo, Pondok Pesantren (Ponpes) Al Itqon Bugen Kota Semarang milik Rais Syuriah Pengurus Wilayah Nahdlatun Ulama (PWNU) Jawa Tengah, KH. Ubaidillah Shodaqoh, Minggu malam (26/11/2023) beberapa waktu lalu.
Aka Hasan mengaku melakukan penelitiannya atas perintah gurunya yaitu KH. Muslim Rifa’i Imampuro (Mbah Lim), Shohibul Ma’had Islami Pancasila Sakti Al Muttaqin, Sumberejo Jatinom Klaten Jawa Tengah pada tanggal 2 Mei 2004 atau pada tanggal 12 Robi’ul Awwal 1425 H yang lalu.
Ketujuh metode yang digunakan dalam melakukan penelitiannya ini, jelasnya, terdiri dari: Pertama, Metode Library Research, yaitu penelitian secara literasi. Metode ini ia gunakan untuk meneliti sumber-sumber sejarah dari literatur yang ada.
Selama perjalanan penelitian sejak tahun 2004 hingga sekarang ini, Aka Hasan sudah menganalisa 35 naskah babad dan serat. Selain itu, ia juga menganalisa 190-an buku literatur yang berkaitan dengan sejarah Kerajaan Demak Bintoro dan Walisongo.
Kedua, Observation Method. Metode ini ia gunakan untuk meneliti tempat-tempat atau lokasi yang dianggap sebagai tempat bersejarah (makam para wali dari Jawa bagian barat hingga Jawa bagian timur), termasuk Madura, Bawean (Gresik), dan Karimunjawa (Jepara).
Ketiga, Historical Method, yaitu meneliti rekam jejak tokoh para pelaku sejarah yang memiliki keterkaitan dengan obyek penelitian (Kerajaan Demak Bintoro dan Walisongo). Metode ini ia gunakan untuk meminimalkan polemik yang berkembang dan informasi yang menyesatkan pada tokoh sejarah yang sebenarnya bukan pelaku sejarah.
Kemudian metode yang ke-empat, lanjutnya, Toponimi Method. Metode ini ia gunakan untuk meneliti asal-usul nama tokoh dan tempat bersejarah (misalnya nama Sunan dan Ki Ageng) yang melekat pada tokoh tertentu yang menjadi pelaku sejarah.
Misalnya Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijogo, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Syekh Siti Jenar.
Dari nama-nama mereka itu dilacak, sejak kapan Gelar itu disematkan, oleh siapa, dalam forum apa Gelar itu diberikan pada tokoh-tokoh tersebut, sehingga bisa diketahui siapa pemilik gelar Sunan itu pertama kalinya, kedua, ketiga, dan seterusnya. Pelacakan Gelar Sunan ini, hingga kini belum ada yang menelitinya.
Kelima, Clasification Method, yaitu metode yang digunakan untuk meneliti tokoh-tokoh sejarah dengan klasifikasi tertentu. Metode ini ia gunakan untuk mengelompokkan keberadaan tokoh sejarah agar tidak menimbulkan kesenjangan sejarah yang menyebabkan terjadinya kekacauan sejarah.
Dalam diskusi di Ponpes Al Itqon Bugen Semarang pada 26 November 2023 malam itu, Aka Hasan menjelaskan bahwa jauh sebelum Dewan Walisongo terbentuk, sudah banyak para wali yang berdakwah di tanah Jawa.
Selanjutnya metode yang Ke-enam, Clarification Method yaitu meneliti tokoh sejarah yang memiliki nama dan lokasi makam banyak dan menyebar dibeberapa tempat, meskipun pada dasarnya tokohnya hanya satu (seperti makam Sunan Kalijogo ada 7 tempat atau lebih, demikian juga makam Joko Tingkir ada 5 tempat atau lebih).
Metode ini ia gunakan untuk menentukan tokoh yang sebenarnya sebagai pelaku sejarah, dan lokasi makamnya dijustifikasi masyarakat di beberapa tempat dan mading-masing masyarakat tersebut mengakui tokoh yang dijustifikasi itulah yang asli. Maka dengan metode ini, Aka Hasan bisa menentukan tokoh yang asli dan tokoh yang bukan asli pelaku sejarah.
Dan yang ketujuh, metode Realisme Metafisika, yaitu meneliti keberadaan sukma yang tertinggal dalam jasad dari para pelaku sejarah. Metode ini ia gunakan untuk menganalisis keberadaan sukma dimana tokoh tersebut dikebumikan dan untuk mendapatkan data yang akurat, dibutuhkan minimal tiga kali observasi di lokasi tokoh sejarah tersebut, bahkan ada yang tujuh kali hingga sembilan kali observasi dengan melacak kebenaran dan kecocokan Sukma milik pelaku sejarah tersebut, hal ini berlangsung bekali-kali, sebagai metode pamungkas yang dilakukan oleh Aka Hasan ketika keenam metode sebelumnya tak mampu menjawab data dan fakta sejarah dalam analisa logika sejarah.
Sehingga penelitian yang sudah berjalan selama ± 20 tahun ini, diupayakan keakuratannya untuk mendapatkan data dan fakta sejarah yang sebenarnya.
Pengirim: Sholeh/Red