Jakarta, NU Online Demak
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ulil Abshar Abdalla mengatakan, Halaqah Fiqih Peradaban merupakan salah satu program unggulan di kepengurusan PBNU saat ini. Hal tersebut menjadi dorongan bagi para kiai untuk melakukan pemikiran yang lebih dinamis.
“Sebab, tujuan utama dari halaqah ini adalah mendorong kiai-kiai untuk berpikir kritis dalam mendialogkan pemahaman keislaman yang diajarkan melalui kitab kuning dengan realitas peradaban saat ini,” ujarnya.
Hal itu dikatakan pada Halaqah Fiqih Peradaban 2023 dengan tema ‘Ijtihad Ulama NU dalam Bidang Sosial-Politik untuk Peradaban yang Berkeadilan Gender’ di Aone Hotel, Jakarta, Jumat (22/12/2023) sore.
Gus Ulil menekankan bahwa kitab-kitab pesantren tidak hanya sekadar kertas, melainkan memiliki makna yang signifikan dalam membentuk cara pandang di lingkungan NU.
“Sekarang kita bergerak pada realitas baru, maka sudah seharusnya kitab-kitab dan pemahaman keislaman yang terkandung di dalamnya itu dibaca ulang. Itulah tujuan halaqah ini,” ucapnya.
Gus Ulil menyadari bahwa kitab-kitab tersebut umumnya ditulis pada masa sebelum era modern, di mana realitas yang ada saat itu sangat mempengaruhi isi dan konteksnya. Isi kitab-kitab tersebut, sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan konteks sejarah di mana para ulama penulisnya hidup.
Oleh karena itu, dengan ditulisnya kitab-kitab ini dalam lingkungan peradaban lama, kita dapat memahami perbedaan antara realitas peradaban masa lalu dan masa kini.
“Jadi kita dengan mengadakan halaqah ini, minimal itu mengakui bahwa tradisi kita itu harus dibaca ulang. Nah, pemahaman seperti ini sudah mulai tersebar di kalangan kiai-kiai, berkat halaqah-halaqah yang diadakan di lingkungan NU,” terangnya.
Disampaikan, ide halaqah di lingkungan NU bukan sesuatu baru, melainkan sudah ada sejak 1989, setelah Muktamar NU ke 28 di Pesantren Krapyak Yogyakarta. Saat itu, Gus Dur terpilih untuk kedua kalinya menjadi ketua umum PBNU. Setelah Muktamar tersebut, tercetus inisiatif untuk mengadakan halaqah kontekstualisasi kitab kuning.
“Jadi sejak tahun 1990, karena idenya muncul tahun 1989, tetapi dilaksanakan tahun berikutnya, tahun 1990. Itu mulai diadakan beberapa halaqah di sejumlah pesantren,” ungkapnya.
Ia menyebutkan nama-nama yang memiliki peran penting dalam halaqah-halaqah ini, yakni KH Masdar Farid Mas’udi, KH Sahal Mahfudz, KH Mustofa Bisri, KH Wahid Zaini, KH Mustolih Badawi, hingga KH Ali Maksum Krapyak.
Menurutnya, kesadaran akan perlunya kontekstualisasi kitab-kitab ini adalah sebuah langkah penting yang mengubah paradigma. Tanpa kesadaran ini, prosesnya menjadi rumit karena membutuhkan upaya untuk mengajak para kiai berdiskusi mengenai pentingnya kontekstualisasi dan pembaharuan sesuai dengan perkembangan zaman.
Dikutip dari nu.or.id, Gus Ulil menegaskan bahwa kesadaran ini membuka pintu bagi banyak perubahan, termasuk salah satunya adalah momen monumental dalam sejarah pemikiran NU, yakni Musyawarah Nasional Alim Ulama 2019 di Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo Banjar, Jawa Barat.
Di dalam Munas itu, ada banyak keputusan, tetapi salah satu Keputusan yang penting adalah posisi warga negara dan konsepsi mengenai warga negara.
“Bagi saya sangat maju, di mana Munas itu memfatwakan bahwa warga negara yang tinggal di Indonesia itu tidak mengenal pembedaan antara Islam dan kafir, semua warga negara yang tinggal di Indonesia harus disebut sebagai warga negara, meskipun mereka bukan Muslim. Sebutan non-muslim tidak relevan dalam konteks kewarganegaraan. Ini bagi saya mungkin terjadi karena adanya kesadaran bahwa kitab kuning itu harus dikontekstualisasikan,” pungkasnya. (*)
Sumber: NU Online Jateng