Jombang, NU Online Demak
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, KH Abdul Hakim Mahfudh (Gus Kikin) menegaskan bahwa KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mewarisi perjuangan kakeknya, KH M Hasyim Asy’ari. Perjuangan yang dimaksud adalah membangun dan menguatkan ukhuwah dan persatuan bangsa Indonesia. Hal inilah yang menurutnya menjadi bagian terbesar dari kiprah Gus Dur sehingga namanya tidak pernah hilang ditelan waktu.
“Beliau mewarisi keilmuan dari ayahnya, KH Abdul Wahid Hasyim, dari kakeknya, mewarisi kesalehan dari ayahnya, dari kakeknya. Dari situ kemudian beliau melakukan hal-hal yang dilakukan KH Hasyim Asy’ari membangun ukhuwah, membangun persatuan bagi bangsa Indonesia ini,” katanya pada Haul Ke-14 Gus Dur di Pesantren Tebuireng, Sabtu malam (6/1/2024).
Cara KH M Hasyim Asy’ari membangun persatuan umat Islam khususnya dimulai dari pemenuhan terhadap hal-hal yang sangat mendasar. Gus Kikin menyebut, KH M Hasyim Asy’ari sepulang dari Makkah pada tahun 1899 istikamah mendampingi masyarakat dengan meningkatkan perekonomiannya dan menguatkan aspek pendidikannya terlebih dahulu. Dua hal ini yang menjadi prioritas utama pendiri Nahdlatul Ulama (NU) itu sebelum akhirnya membangun dan menguatkan persatuan atau ukhuwah.
“Semangat untuk menyatukan umat Islam khususnya di Indonesia ini dimulai dari hal-hal yang mendasar, dimulai dari peningkatan ekonomi masyarakat, peningkatan pendidikan masyarakat, sampai kemudian masyarakat hampir seluruh tanah Jawa itu tersentuh dengan apa yang dilakukan Hadratussyekh. Akhirnya satu kekuatan bisa dibangun karena memang ekonominya, kemudian pendidikannya makin meningkat,” urainya.
Butuh perjuangan yang konsisten untuk memastikan umat Islam bisa sampai pada tahap pemahaman bahwa ukhuwah adalah hal yang sangat penting untuk dibangun. Apalagi saat itu Indonesia masih dikuasai Belanda. Gus Kikin menuturkan, tidak henti-hentinya bahwa KH M Hasyim Asy’ari setiap hari Selasa istikamah mendampingi masyarakat tentang upaya penguatan ekonomi dan pemahaman keagamaan (pendidikan).
“Beliau mendampingi masyarakat meningkatkan ekonomi, beliau mendampingi masyarakat untuk mengajarkan ilmu agama, pendidikan agama. Dan dilakukan setiap hari Selasa. Ini pendampingan dilakukan dengan tekun setiap Selasa, mulai beliau mendirikan pondok ini sampai beliau wafat,” terangnya.
Ikhtiar tersebut menurut Gus Kikin pada akhirnya berhasil, misi persatuan betul-betul dapat terbangun. Bahkan, mengutip buku yang ditulis Asad Syihab, Gus Kikin menerangkan bahwa KH Hasyim Asy’ari dengan kawan-kawannya bisa mendirikan satu federasi Majelis Islam A’la Indonesia atau MIAI yang menaungi 13 organisasi Islam di Indonesia.
“Hampir semua organisasi Islam berada di bawah naungan MIAI dan NU bergabung setahun kemudian. Semangat itulah dengan bersatunya umat Islam, pemerintah Belanda mulai berpikir bahwa ini (MIAI) merupakan kekuatan,” lanjut dia.
Spirit yang sama kemudian dilanjutkan oleh Gus Dur, tentu dalam situasi yang berbeda. Gus Dur berjuang setelah Indonesia merdeka di saat integrasi bangsa mulai terancam. “Pada perkembangannya apa ayang dilakukan oleh Gus Dur adalah hal yang sama (dengan Hadratussyekh), Gus Dur selalu dalam semangat untuk menyatukan umat di Indonesia ini,” tuturnya.
Upaya Gus Dur untuk kembali menguatkan persatuan terlihat begitu dominan saat menjadi presiden. Meski masa kekuasaannya tidak sampai selesai, tapi banyak warisan dan pelajaran penting yang bisa dijadikan pedoman hingga sekarang. Dalam satu aspek misalnya, Gus Dur mencintai siapa saja, tanpa melihat latar belakang dan agama. Bahkan terhadap pemenuhan hak-hak kaum minoritas sekalipun dia perjuangan.
“Gus Dur tidak hanya terbatas untuk umat Islam. Gus Dur sangat dekat dengan semua masyarakat agama apapun yang dianut. Pada etnis Tionghoa dekat, dengan umat Kristiani juga dekat. Kedekatan ini sampai kemudian dari etnis Tionghoa, banyak orang Cina itu yang sangat mencintai Gus Dur,” ucapnya.
Gus Kikin kemudian bercerita, tentang peristiwa pada tahun 2023 di area makam Gus Dur. Kala itu, rombongan dari etnis Tionghoa mendatangi makam Gus Dur untuk memperingati Hari Raya Ceng Beng. Mereka berziarah ke makam Gus Dur.
“Saking sayangnya dengan Gus Dur datang rombongan dari Kelenteng membawa peralatan bunyi-bunyian ikut berziarah ke makam Gus Dur,” katanya.
Seperti biasa, makam Gus Dur selalu ramai dengan peziarah dari berbagai daerah. Mereka yang mayoritas dari kalangan Muslim membacakan tahlil dan doa. Yang menarik adalah setibanya rombongan etnis Tionghoa ke makam Gus Dur tidak satu pun peziarah yang datang sebelumnya merasa terganggu dengan tradisi yang dilakukan etnis Tionghoa.
“Rombongan satu sedang tahlil, yang lain sedang wiridan. Datang rombongan dari Kelenteng membawa alat bunyi-bunyian. Itulah plural yang diciptakan Gus Dur. Dan itu tidak menimbulkan masalah di sini. Semuanya diterima. Yang sedang tahlilan paling ya hanya nengok saja. Yang lain juga memberi jalan. Dan itu merupakan gambaran apa yang diajarkan olah Gus Dur kepada kita,” terangnya.
Gus Kikin mengajak kepada masyarakat agar legasi yang ditinggalkan oleh Gus dapat dilanjutkan. “Kita jadikan ibrah, kita jadikan pelajaran untuk kita teladani, bagaimana bertoleransi kepada orang lain. Hal yang sama dilakukan oleh KH Hasyim Asy’ari dan dilanjutkan oleh Gus Dur. Ini bagi saya khususnya di Tebuireng menjadi sebuah pemikiran,” pungkasnya.
Sumber: NU Online