Sabtu Pahing, 16 Nov 2024 / 14 Jumadil Awwal 1446 H
x
Banner

Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah: Banjir Di Jawa Tengah Akibat Kerusakan Alam, Eksploitasi Berlebihan, Dan Kurangnya Penanganan Serius Dari Pemerintah

waktu baca 3 menit
Choerul Rozak
Jumat, 22 Mar 2024 07:51
0
262

Jakarta, NU Online Demak

Jalur pantura Jawa di wilayah Demak-Kudus di Kecamatan Karanganyar kembali terendam banjir pada Ahad, (17/3/2024). Lalu lintas di jalan tersebut kembali lumpuh. Air menggenangi jalan dan tak bisa dilalui kendaraan. Banjir Bandang bahkan menggenangi Masjid Agung Demak dan Kompleks makam Sunan Kalijaga di Kadilangu.

Banjir di wilayah pantura ini disebut sebagai banjir terparah sepanjang masa dibandingkan pada tahun 1992. Banjir ini meluas ke 13 kecamatan dan merendam pusat kota Demak (saat ini mulai surut). Akibat peristiwa ini, muncul rumor banjir tersebut ada hubungannya dengan Selat Muria.

Dilansir dari kemendikbud.go.id, Selat Muria adalah wilayah perairan telah berubah menjadi daratan. Hal ini diakibatkan oleh endapan fluvio-marin yang telah mengubah wilayah tersebut menjadi daratan. Wilayah tersebut kini lebih dikenal sebagai bagian dari Kabupaten Demak, Kudus, Grobogan, Pati, dan juga Rembang.

Munculnya narasi mengenai Selat Muria memunculkan keprihatinan dari Rais Syuriyah PWNU Jawa Tengah, KH Ubaidullah Shodaqoh. Menurut Kiai Ubaid, narasi tersebut dapat mengaburkan fakta bahwa banjir yang terjadi di Jawa Tengah akibat kerusakan alam, eksploitasi berlebihan, dan kurangnya penanganan serius dari pemerintah.

“Saya khawatir seolah menganggap bahwa banjir besar yang terjadi adalah kewajaran bukan karena perusakan alam, ekploitasi yang berlebihan dan penanggulangan yang setengah hati sehingga tidak perlu penanganan serius pemerintah,” kata Kiai Ubaid dalam akun X dilihat NU Online, Kamis (21/3/2024).

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan peristiwa banjir besar yang merendam Demak hingga Kudus tak ada kaitan dengan isyarat kemunculan kembali Selat Muria.

Peneliti Pusat Riset Kebencanaan Geologi Eko Soebowo menjelaskan bahwa banjir yang terjadi murni pengaruh alam akibat kondisi cuaca ekstrem serta kegiatan pembabatan hutan dan perubahan tata guna lahan yang jadi pemicu sedimentasi  terjadi di sisi selatan.

“Cuaca memang ekstrem dan daerah aliran sungai di wilayah sana tidak mampu menampung volume air hujan yang tinggi karena terjadi sedimentasi,” ujarnya dilansir dari Antara.

Bahkan, pengambilan air tanah berlebihan membuat kawasan pesisir pantai utara Jawa mengalami penurunan muka tanah yang signifikan 5 sampai 10 centimeter per tahun.

Eko mengungkapkan, bentuk mitigasi yang dapat dilakukan untuk mengeringkan kembali daratan Demak hingga Kudus adalah pembenahan tata guna lahan.

“Kawasan konservasi dan kawasan lindung yang dulu dibuka untuk kawasan komersial dan perumahan harus dikembalikan lagi fungsinya sebagai zona resapan air,” kata Eko.

Ia mengingatkan agar masyarakat bijaksana dalam penggunaan air. Kegiatan pengambilan air tanah yang dilakukan secara berlebihan telah membuat kawasan Demak hingga Kudus mengalami penurunan muka tanah yang parah.

“Pengambilan air tanah secara berlebihan juga harus dikurangi dengan membangun bendungan yang berfungsi sebagai sumber air bersih bagi masyarakat setempat, seperti Waduk Jatibarang di Semarang dan Waduk Jati Gede di Indramayu,” tandasnya.

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap lengkapi captcha sekali lagi.

LAINNYA
x