NU Online Demak
Artinya: “Tidurnya orang puasa ialah ibadah, diamnya ialah tasbih, doanya mustajab, dan amalnya dilipat gandakan.”
Meskipun Hadits tersebut banyak dikutip oleh beberapa ulama, termasuknya Imam al-Baihaqi dalam Syuabul Iman, Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, Syaikh Ala’ ad-Din Ali al-Hindi dalam Kanz al-Ummal. Lantas, apakah hadits tersebut bisa dijadikan pedoman untuk membenarkan bahwa tidur bagi orang puasa adalah ibadah? Jawabnya tidak, dengan argumentasi sebagai berikut:
Pertama, apabila disisir dari jalur mata rantai periwayatannya, maka minimal ulama menilai bahwa hadits tersebut berstatus dha’if, walaupun ada yang menilai maudhu’, sebagaimana yang diakui oleh Imam al-Iraqi dalam kitabnya yang mentakhrij atas hadits-hadits Ihya’ Ulumuddin:
Artinya: “Hadits ‘Tidurnya orang puasa ialah ibadah’ kami meriwayatkannya dalam Amali Ibn Mandah dari riwayat Ibn al-Mughirah al-Qawwas dari Abdullah bin Umar dengan sanad dhaif, kemungkinannya Abdullah bin Umar ulama tidak menyebut riwayat Ibn al-Mughirah kecuali darinya ‘Abdullah bin Umar’. Dan hadits tersebut juga diriwayatkan Abu Manshur ad-Dailami dalam Musnad al-Firdaus dari ‘riwayat’ Abdullah bin Abi Aufa, di dalam sanadnya terdapat Sulaiman bin Amr an-Nakhai yang termasuk orang-orang yang sering berbohong.” (Takhrij al-‘Iraqi Ihya’ Ulumuddin: I/232, cet. al-Haramain)
Kedua, apabila dilihat dari nilai perbuatan yang disebutkan dalam hadits ‘tidurnya orang puasa’, maka perbuatan ‘tidur’ tersebut punya nilai yang berbeda-beda; bisa berstatus ibadah dan bisa berstatus maksiat.
Adapun tidur yang berstatus maksiat ialah tidur yang dapat melalaikan segala kewajiban, seperti halnya orang yang sengaja tidur dan mengetahui bahwa akan melalaikan kewajiban disebabkan tidur. (Ahmad ibn Hajr al-Haitami, Syarh al-Minhaj al-Qawim: I/134, Maktabah Syamilah)
Sedangkan tidur yang bisa bernilai ibadah ialah tidur yang dapat menjadi sebuah perantara untuk menyimpan energi melakukan ibadah. Hal ini didasari kaidah bahwa perkara mubah bisa bernilai ibadah selama menjadi wasilah untuk ibadah lain sebagaimana yang dipaparkan Imam Syathibi dalam al-Muwafaqatnya:
Artinya: “Sesungguhnya perkara mubah itu bisa menjadi selain mubah sebab tujuan dan perkara lain ‘yang mengikat’ di dalamnya. Adapun perinciannya; perkara mubah itu terbagi dua: 1) perkara mubah tersebut ikut terhadap perkara asal yang primer, tersier, ataupun elementer. 2) tidak seperti yang pertama. Adapun yang pertama: perkara mubah tersebut ikut terhadap perkara asal; maka perkara tersebut merupakan tuntutan dan anjuran untuk dilaksanakan, hal ini seperti halnya menikmati perkara yang dihalalkan Allah meliputi makanan, minuman, dan selainnya yang secara aslinya diperbolehkan, dan diperbolehkannya tersebut pada juz-juz ‘praktek-prakteknya’. Hal ini merupakan perkara yang ikut pada asal primer, yaitu kehidupan; maka perkara mubah tersebut dalam sudut pandang ini menjadi hal yang diperintahkan, dianggap dan dianjurkan dari sudut pandang anjuran yang global; maka perkara mubah itu dikembalikan pada hakikatnya yang bersifat global”. (Ibrahim bin Musa as-Syathibi, al-Muwafaqat: I/203, cet. Dar Ibn Affan thn. 1997 M.)
Terkait hal ini, guru kami KH. Habibul Huda bin Najid dalam kitabnya Tuhfat al-Ahbab Syarh Kifayat at-Thullab (hlm. 35), beliau menyitir pendapat Ibn Nujaim sebagai berikut:
Artinya: “Adapun perkara mubah, itu sesungguhnya memiliki sifat yang berbeda-beda tergantung dengan tujuannya. Sehingga apabila ‘perkara mubah’ diniati untuk memperkuat tenaga melaksanakan ketaatan atau sebagai media melakukan ketaatan, maka perkara mubah tersebut bernilai ibadah, seperti: makan, tidur, bekerja, dan wathi ‘bergaul dengan perempuan yang halal’”. (Zain al-Abidin bin Ibrahim bin Nujaim al-Hanafi, al-Asybah wa an-Nadhair Ibn Nujaim: I/24, cet. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah Beirut thn. 1980 M.)
Begitu pun, Syaikh Nawawi al-Bantani menegaskan:
Artinya: “Tidur meskipun inti dari kelupaan, namun akan bernilai ibadah; karena menjadi media pembantu melakukan ibadah”. (Nawawi bin Umar al-Bantani, Tanqih al-Qaul al-Hatsits: hlm. 66)
Jadi tidur bisa bernilai ibadah apabila dijadikan sebuah perantara untuk menyimpan energi melakukan ibadah. Selain itu, tidur juga bernilai ibadah apabila dimaksudkan untuk menghindari dari perbuatan maksiat sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Athiyah Shaqr:
Artinya: “Sesungguhnya seseorang yang melakukan puasa bila ditengah puasanya terjerumus dalam perkara-perkara yang berlawanan dengan hikmah puasa sebab terpengaruhi oleh lingkungannya, seperti berbohong, membicarakan orang lain, melihat perkara haram, dan lain-lain. Maka, cukup baginya untuk tidur di siang hari daripada terjerumus dalam kemunkaran, dan hal ini merupakan bentuk ibadah. Ibadah yang dimaksud bersifat salbiyah ‘menahan’ sebagaimana kewajiban sedekah yang dikatakan oleh nabi shallallahu alaihi wasallam atas setiap muslim yang tidak mempunyai harta yang dapat disedekahkan juga tidak mampu atas setiap macam pertolongan, maka nabi mengatakan: ‘maka, sesungguhnya menahannya orang tersebut dari keburukan, itu merupakan sedekah’ hadits riwayat Bukhari Muslim. Sehingga pada kasus ini, maka tidurnya orang tadi merupakan perkara yang benar dan bernilai ibadah.” (Fatawi al-Azhar: IX/280, Maktabah Syamilah)
Bahkan, Habib Salim bin Abdullah bin Umar as-Syathiri dalam kitabnya, beliau menuqil perkataan Syaikh Ibnu Rajab terkait tidurnya orang puasa sebagai berikut:
Artinya: “(Faidah) Berkata Imam Ibnu Rajab: ‘sesungguhnya seseorang yang tidur dalam keadaan berpuasa maka Allah membanggakannya kepada malaikat-Nya’, Allah berkata kepada malaikat: ‘lihatlah hamba-Ku, ruhnya disisi-Ku, mencegah dari makanan dan minuman karena-Ku, Aku menyaksikan kepadamu ‘malaikat’ bahwa Aku mengampuninya’”. (Salim bin Abdullah bin Umar as-Syathiri, al-Fawaid as-Syathiriyah min an-Nafahat al-Haramiyah: II/245, cet. Dar al-Fath thn. 2015)
Namun, meskipun tidur merupakan perbuatan yang dapat kita sulap menjadi sebuah ibadah sebagaimana keterangan-keterangan di atas, Ramadhan bukan-lah bulan yang disembahkan Allah kepada umat-Nya untuk bermalas-malasan, sebab Ramadhan diciptakan oleh Allah sebagai bulan untuk berjuang mengerahkan sekuat tenaga beribadah dengan Allah dengan bukti berlipat-lipatnya pahala amal baik bila dilakukan di bulan Ramadhan.
Selain menyebutkan keistimewaan orang yang tidur di bulan Ramadhan, Habib Salim bin Abdullah bin Umar as-Syathiri dalam kitabnya juga menekankan umat muslim agar memanfaatkan bulan Ramadhan dengan memperbanyak ibadah. Wasiat ini, beliau sindir lewat kutipan nadzam:
Artinya “Apabila kamu tidak menanam dan melihat tuaianmu – maka kamu akan menyesali atas kecerobohanmu pada masa menanam ‘biji’”. (Salim bin Abdullah bin Umar as-Syathiri, al-Fawaid as-Syathiriyah min an-Nafahat al-Haramiyah: II/245, cet. Dar al-Fath thn. 2015)
Berangkat dari pemaparan di atas, maka meskipun riwayat tentang “tidur di bulan puasa” dinilai dhaif ataupun maudhu, namun ternyata “tidur di bulan puasa” bisa jadi bernilai ibadah dan bisa jadi tidak; sesuai dengan kondisi yang melatar-belakanginya. Hanya saja yang perlu diutamakan ialah di bulan Ramadhan kita tetap bersemangat melakukan segala aktifitas dan ibadah sehingga tidak menyia-nyiakan momen Ramadhan dengan bermalas-malasan. Wallahu A’lam bis Shawab.
Penulis: Minanur Rohman, mahasantri Ma’had Aly Faidhu Dzil Jalal Ngangkruk Grobogan
Sumber: NU Online Jateng