NU Online Demak
Hari raya Idul Fitri merupakan momen seluruh umat Islam bersuka cita menyambut hari kemenangan.
Mengutip buku Fiqh Al-‘Ibadat oleh Syaikh Alauddin Za’tari, buku Ihya 345 Sunnah Nabawiyah karya Raghib As-Sirjani, dan buku Al-Jami’ fii Fiqhi An-Nisa’ susunan Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, kitab al-Mathalib karya Syekh Zakariyya al-Anshari berikut beberapa amalan sunnah di hari Idul Fitri:
Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengumandangkan takbir pada malam terakhir Ramadhan hingga pagi hari satu Syawal. Hal ini sesuai dengan apa yang difirmankan Allah dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 185 :
Artinya: “Dan sempurnakanlah bilangan Ramadhan, dan bertakbirlah kalian kepada Allah”. (QS. Al-Baqarah: 185).
Ada dua jenis takbir Idul Fitri. Pertama, muqayyad (dibatasi), yaitu takbir yang dilakukan setelah shalat, baik fardhu atau sunnah. Setiap selesai shalat, dianjurkan untuk membaca takbir. Kedua, mursal (dibebaskan), yaitu takbir yang tidak terbatas setelah shalat, bisa dilakukan di setiap kondisi.
Takbir Idul Fitri bisa dikumandangkan dimana saja, di rumah, jalan, masjid, pasar atau tempat lainnya. Kesunnahan takbir Idul fitri dimulai sejak tenggelamnya matahari pada malam 1 Syawal sampai takbiratul Ihramnya Imam shalat Id bagi yang berjamaah, atau takbiratul Ihramnya mushalli sendiri, bagi yang shalat sendirian.
Sesuai hadits dari Anas bin Malik, “Pada hari Idul Fitri dan Idul Adha, Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk menggunakan pakaian terbaik yang kami miliki dan memakai wewangian terbaik yang ada pada kami, serta berkurban dengan binatang yang tergemuk yang kami punyai.” (HR Hakim).
Waktunya mulai tengah malam sholat Idul Fitri sampai akhir siang hari raya. Waktu utamanya adalah setelah terbit fajar, sebagaimana hadits riwayat Ibnu Abbas. Ia berkata, “Rasulullah SAW biasa mandi pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR Ibnu Majah).
Berhias bisa dilakukan dengan membersihkan badan, memotong kuku, memakai wewangian terbaik dan pakaian terbaik. Lebih utama memakai pakaian putih, kecuali bila selain putih ada yang lebih bagus, maka lebih utama mengenakan pakaian yang paling bagus, semisal baju baru. Dari keterangan ini dapat dipahami bahwa tradisi membeli baju baru saat lebaran menemukan dasar yang kuat dalam teks agama, dalam rangka menebarkan syiar kebahagiaan di hari raya Idul Fitri.
Kesunnahan berhias ini berlaku bagi siapapun, meski bagi orang yang tidak turut hadir di pelaksnaan shalat Idul Fitri. Khusus bagi perempuan, anjuran berhias tetap harus memperhatikan batas-batas syariat, seperti tidak membuka aurat, tidak mempertontonkan penampilan yang memikat laki-laki lain yang bukan mahramnya dan lain sebagainya. (Syekh Zakariyya al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 281).
Salah satu hari yang diharamkan berpuasa adalah hari raya Idul Fitri. Bahkan, dalam kitab-kitab fiqih disebutkan bahwa berniat tidak puasa pada saat hari Idul Fitri itu pahalanya seperti orang yang sedang puasa di hari-hari yang tidak dilarang.
Sebelum shalat Idul Fitri, Rasulullah saw. biasa memakan kurma dengan jumlah yang ganjil; tiga, lima, atau tujuh. Dalam sebuah hadist disebutkan bahwa: “Pada waktu Idul Fitri Rasulullah saw. tidak berangkat ke tempat shalat sebelum memakan beberapa buah kurma dengan jumlah yang ganjil.” (HR. Ahmad dan Bukhari).
Hukum mendirikan sholat Idul Fitri adalah sunnah muakkad (yang ditekankan). Rakaatnya berjumlah dua. Untuk rakaat pertama, melakukan takbir sebanyak tujuh rakaat. Sementara rakaat kedua dengan bertakbir lima rakaat. Untuk waktu pelaksanaan sholat Idul Fitri, Nabi SAW pernah mengerjakannya ketika matahari setinggi dua tombak.
Ketika Nabi SAW hendak pergi menuju sholat Id, beliau melalui suatu jalan dan kembali dengan melewati jalan yang berbeda hingga beliau melihat lebih banyak kaum muslim pada kedua jalan tersebut.
Dari Jabir bin Abdullah, ia berkata, “Adalah Rasulullah SAW menempuh jalan yang bebeda pada hari Id.” (HR Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Majah & Ahmad).
Sebagaimana sabda Nabi SAW mengenai orang yang senang berkunjung satu sama lain dari Muadz bin Jabal, ia berkata bahwa pernah mendengar Rasul SAW menuturkan:
“Allah SWT berfirman, ‘Cinta-Ku berhak didapatkan oleh orang yang saling mencintai karena- Ku, orang saling duduk karena-Ku, orang yang saling mengunjungi karena-Ku, dan orang yang saling membantu karena-Ku.” (HR Al-Muwaththa & Ahmad)