Jakarta, NU Online Demak
Tradisi sungkeman kerap ditemui saat momentum Lebaran Hari Raya Idul Fitri. Sungkeman biasanya dilakukan oleh anak kepada orang tuanya dengan cara jongkok kemudian mencium tangannya, sembari menyampaikan permohonan maaf, ucapan terima kasih, atau hal yang serupa. Hal ini juga sering dilakukan oleh seseorang kepada yang lebih tua, seperti sanak saudara atau pun kepada guru-gurunya.
Ustadz M Mubasysyarum Bih dalam artikelnya di NU Online berjudul Tradisi Sungkeman saat Lebaran Menurut Hukum Islam menjelaskan bahwa tradisi sungkeman setidaknya bisa ditinjau dari dua sisi. Pertama, hukum asal. Kedua, dari sudut pandang tradisi.
Menurut Ustadz Mubasysyarum Bih, hukum asal sungkeman sama sekali tidak bertentangan dengan syariat. Sebab posisi jongkok sambil cium tangan merupakan ekspresi memuliakan orang yang lebih tua.
“Syariat tidak melarang mengagungkan manusia selama tidak dilakukan dengan gerakan yang menyerupai bentuk takzim kepada Allah, seperti sujud dan ruku’,” tulisnya dikutip NU Online, Senin (15/4/2024).
Ustadz Mubasysyarum Bih kemudian mengutip pandangan Imam Al-Nawawi dalam Kitab Raudlah al-Thalibin yang menyebutkan kebolehan mencium tangan seseorang karena beberapa faktor, antara lain karena kezuhudannya, keilmuannya, dan faktor usia lebih tua.
“Tidak makruh mencium tangan karena kezuhudan, keilmuan dan faktor usia yang lebih tua,” demikian keterangan Imam Al-Nawawi yang dikutip Ustadz M Mubasysyarum Bih dalam tulisannya.
Pendapat lain menyebutkan bahwa ekspresi takzim kepada orang yang lebih tua hukumnya sunnah, yakni ketika dilakukan dengan cara berdiri dengan tujuan memuliakan dan kebaktian. Pandangan ini sebagaimana dikemukakan oleh Syekh Zainuddin al-Malibari dalam Fath al-Mu’in Hamisy I’anah al-Thalibin.
Lebih jauh, Syekh Syihabuddin al-Qalyubi dalam Hasyiyah al-Qalyubi ‘ala al-Mahalli menyampaikan pandangan sebagian ulama yang justru mewajibkan memuliakan kerabat dengan cara berdiri, ketika meninggalkannya dianggap memutus tali silaturahim.
“Sebagian ulama berpendapat wajibnya berdiri (memuliakan) pada masa sekarang, karena meninggalkannya merupakan bentuk perbuatan yang memutus tali silaturahim,” demikian penggalan pandangan ulama yang disampaikan Syekh Syihabuddin al-Qalyubi.
Sementara apabila dilihat dari sudut pandang tradisi, sungkeman patut dilestarikan karena tidak bertentangan dengan ajaran agama. Para pendahulu telah mewariskan budaya ini dengan sangat baik.
Pada satu sisi, menurut Ustadz Mubasysyarum Bih, tradisi sungkeman merupakan bentuk pengejawantahan sabda Nabi Muhammad tentang berbudi pekerti yang baik kepada sesama.
وخالق الناس بخلق حسن
Artinya, “Berbudilah dengan akhlak yang baik kepada manusia.” (HR. Al-Tirmidzi)
Mengutip pernyataan Sayyidina Ali, Ustadz Mubasysyarum Bih menyampaikan bahwa melestarikan tradisi yang masih beririsan dengan nilai-nilai agama adalah sebuah etika yang baik.
Sebaliknya, meninggalkan tradisi yang tidak haram merupakan akhlak yang tidak terpuji, sebagaimana penjelasan Syekh Ibnu Muflih.
“Simpulannya, sungkeman bukan merupakan tradisi yang haram, bahkan menjaga tradisi tersebut merupakan bentuk pengamalan dari sabda Nabi tentang anjuran beretika yang baik kepada sesama,” pungkasnya.
Sumber: NU Online