Karanganyar–NU Online Demak
Hari Kartini tidak hanya masalah pemakaian kebaya (jarik), akan tetapi terkait dengan budaya yang harus diuri-uri atau lestarikan. Jarik itu secara filosofi jawanya ojo gampang serik atau jangan mudah marah kepada orang lain. Pemakaian Jarik yang semestinya itu menggunakan (ada) wiru-nya. Wiru itu ojo gampang keliru (jangan mudah berbuat salah).
Demikian disampaikan anggota Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jawa Tengah, Hj. Nur Saadah, saat menghadiri kegiatan ‘Halal Bihalal dan Peringatan Hari Kartini Tahun 2024’ yang diselenggarakan oleh PAC Fatayat NU Kecamatan Karanganyar di kediaman Mukhlishoh Desa Ketanjung, Ahad (21/04/2024).
Raden Ajeng (RA) Kartini adalah tokoh emansipasi perempuan di Indonesia, lanjut Mbak Ida sapaan akrab Hj. Nur Saadah, meskipun emansipasi itu sudah di mulai sejak zaman Rasulullah Muhammad SAW. Dimana pada waktu itu sebelum Nabi Muhammad SAW diutus menjadi rasul (penyampai risalah) bangsa Arab dikenal dengan zaman Jahiliyah, ketika orang tua mempunyai bayi lahir perempuan maka akan dikubur hidup-hidup bayi yang baru lahir tersebut.
“Alhamdulillah setelah kehadiran Nabi Muhammad SAW sebagai Rasulullah maka praktek tersebut (mengubur hidup-hidup bayi perempuan yang baru lahir) yang dikenal dengan zaman Jahiliyah berakhir,”ucapnya.
Menurutnya Salah satu contoh emansipasi yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW adalah tatkala beliau menikahi dengan janda bernama Siti Khodijah. Nabi Muhammad SAW waktu itu berusia 25, sementara Siti Khodijah berumur 40 tahun. Siti Khodijah adalah perempuan kaya yang seluruh hartanya dipergunakan untuk berdakwah Islam bersama Nabi Muhammad SAW.
“Selain itu Nabi Muhammad SAW juga menikah dengan gadis bernama Siti Aisyah putri Abu Bakar (sahabat Nabi) yang berusia 9 tahun. Bagi kalangan pembenci Nabi Muhammad SAW, Nabi Muhammad SAW dianggap sebagai pelanggar HAM karena menikah dengan Siti Aisyah tersebut,” jelas Mbak Ida.
“Akan tetapi bagi kita pemeluk agama Islam itu adalah bagian dari cara Nabi Muhammad SAW memuliakan kaum perempuan, dimana Siti Aisyah adalah gadis cerdas yang kecerdasannya dipergunakan untuk membantu dakwah Rasulullah SAW,” imbuhnya.
Lebih lanjut, ida menambahkan Meskipun begitu belenggu untuk perempuan sebagai sama-sama makhluk ciptaan Allah SWT yang memiliki derajat sama dengan laki-laki belum bisa dikatakan maksimal. Untuk itulah RA Kartini sebagai salah satu santri dari KH. Sholeh Darat menggagas emansipasi perempuan di Indonesia.
“Perempuan di Indonesia di era RA Kartini masih dianggap sebagai konco wingking, dimana eksistensi perempuan masih dinomor duakan. RA Kartini memiliki cita-cita besar bagaimana perempuan Indonesia setara dengan kaum laki-laki di manapun berada terutama di ranah publik, yang terpenting tidak melupakan kodratnya sebagai seorang perempuan,” urai Mbak Ida yang juga mantan Ketua PC Fatayat NU Kabupaten Demak.
Untuk meneruskan cita-cita RA Kartini, Mbak Ida mengajak kepada seluruh kader Fatayat NU Kecamatan Karanganyar agar selalu melestarikan budaya yang ada yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Termasuk berpakaian kebaya itu tidak bertentangan dengan syariat Islam dan pemakaianya disesuaikan dengan perkembangan Islam.
“Saya berharap kader Fatayat NU Kecamatan Karanganyar tetap solid pasca dilanda bencana banjir hingga dua kali. Semoga 5 tahun ke depan dari kader Fatayat NU Kecamatan Karanganyar ada yang terjun ikut konstestasi Pilihan Legislatif (Nyaleg) agar dapat memperjuangkan anggaran yang responsif gender,”pungkasnya.
Pengirim: Rohmad Sholeh/Red