NU Online Demak
Berjamaah dalam shalat Jumat hukumnya fardhu ain, sehingga tidak sah bila dilakukan sendirian. Sementara berjamaah dalam shalat lima waktu hukumnya fardhu kifayah, yakni kewajiban kolektif yang bila telah ada yang melakukannya maka yang lain sudah tidak berdosa.
Maksudnya dalam satu kampung harus diadakan jamaah di tempat yang mudah diakses dan bukan ruang privat, sekira ada orang hendak ikut berjamaah, ia tidak sungkan untuk masuk dan mengikutinya.
Andai orang satu kampung semuanya shalat berjamaah namun hanya dengan keluarga sendiri di rumah masing-masing, jamaah seperti ini belum menggugurkan kewajiban jamaah.
Sedangkan terkait shalat sunah, para ulama membagi menjadi dua yaitu :
1. Shalat sunah yang disunahkan dilakukan secara berjamaah, seperti shalat Tarawih, shalat Id, shalat Istisqa.
Kendati demikian, bila shalat jenis kedua ini dilakukan secara berjamaah, maka hukumnya boleh dan tidak makruh. Tapi apakah bila dilakukan secara berjamaah akan mendatangkan pahala shalat jamaah?
Menanggapi hal ini ulama berbeda pendapat. Dalam kitab I’anatut Thalibin disebutkan:
وصلاة النفل قسمان: قسم لا تسن له جماعة كالرواتب التابعة للفرائض قوله: قسم لا تسن له جماعة أي دائما وأبدا بأن لم تسن له أصلا، أو تسن في بعض الأوقات كالوتر في رمضان. قال في النهاية: ولو صلى جماعة لم يكره.اهـ. ونقل ع ش عن سم أنه يثاب عليها. وقال ح ل: لا يثاب عليها. قال البجيرمي: واعتمد شيخنا ح ف كلام ح ل. اهـ
Artinya, “Shalat sunah ada dua bagian. Satu, bagian yang tidak disunahkan berjamaah seperti shalat Rawatib yang mengikuti shalat fardhu.
(Perkataan mushannif: ‘Satu, yang bagian tidak disunahkan berjamaah)’, maksudnya selamanya. Yaitu tidak disunahkan sama sekali atau disunahkan dalam sebagian waktu, seperti shalat Witir dalam bulan Ramadhan.
Imam Ramli berkata dalam kitab Nihayah, ‘Bila seseorang melakukannya secara berjamaah maka tidak dimakruhkan.’
Syekh Syabramallisi menukil dari Syekh Ibnu Qasim bahwa ia (ketika melakukannya secara berjamaah) maka mendapatkan pahala. Sedang Syekh Al-Halabi menyatakan tidak berpahala. Syekh Al-Bujairimi mengatakan, “Guru kami Syekh Hafnawi menganggap mu’tamad pendapat Syekh Al-Halabi.” (Abu Bakar bin Muhammad Syatha, I’anatut Thalibin, [Beirut, Darul Fikr: 2002], juz I, halaman 284).
Perbedaan pendapat bermula dari memahami hukum berjamaah tersebut, meski ulama sepakat hukumnya boleh dan tidak makruh.
Ulama yang mengatakan tidak mendapat pahala karena hukum berjamaah dalam shalat jenis ini adalah mubah. Yaitu boleh yang bila dilakukan tidak berbuah pahala. Sebagian ulama bahkan mengategorikannya sebagai khilaful aula, yaitu hukum setingkat di bawah makruh karena menyalahi suatu anjuran. Dalam hal ini yaitu anjura agar melakukannya secara sendirian tanpa berjamaah. Syekh Al-Bujairimi mengatakan dalam Hasyiyah:
وقسم لا تسن الجماعة فيه قوله: (لا تسن الجماعة فيه) أي بل تسن فرادى فلو قال: وقسم يسن فرادى لكان أحسن لما توهمه عبارته من إباحة صلاتها فرادى اهـ اج
Artinya, “Satu bagian tidak disunahkan berjamaah.” Perkataan mushanif, ‘Tidak disunnahkan berjamaah’, maksudnya tapi disunahkan dilakukan secara sendiri-sendiri. Andaikan mushanif mengatakan, ‘Dan satu bagian disunahkan secara sendiri-sendiri’, tentu redaksi seperti ini lebih baik. Karena perkataannya (dalam kitab ini) bisa disalahpahami mubah melakukannya sendiri-sendiri.Selesai ucapan Syekh Athiyyah Al-Ujhuri’.” (Sulaiman bin Muhammad Al-Bujairimi, Hasyiyatul Bujairimi ‘alal Khathib, [Beirut, Dar al Fikr, 1995], juz I, halaman 413).
Sementara ulama yang memandang tetap mendapat pahala, karena berjamaah dalam shalat ini tidak sampai level khilaful aula, namun hanya kurang afdhal sebagaimana disampaikan Syekh Syabramallisi berikut:
لكنه يشكل على كونه خلاف الأولى حصول الثواب فيها فإن خلاف الأولى منهي عنه، والنهي يقتضي عدم الثواب، إلا أن يقال لم يرد بكونه خلاف الأولى كونه منهيا عنه بل إنه خلاف الأفضل
Artnya, “Tetapi hukum khilaful aula melaksanakannya berjamaah ini musykil dengan adanya pahala. Karena khilaful aula adalah bentuk larangan, sementara larangan itu menetapkan tiadanya pahala.
Kecuali bila dikatakan keberadaan jamaah tersebut khilaful aula bukan berarti dilarang, namun hal itu menyalahi yang afdhal.” (Nuruddin bin Ali Syabramallisi, Hasyiyah ‘ala Nihayatul Muhtaj, [Beirut, Darul Fikr: 1984], juz II, halaman 107).
Sebagaimana umumnya hukum fiqih, ketentuan di atas bisa berubah sesuai perubahan situasi.
Berpijak pada pendapat yang mengatakan mubah, pahala tetap bisa didapatkan ketika disertai tujuan mengajari tata cara shalat atau mendorong masyarakat untuk melakukannya.
Bahkan bisa haram semisal ketika menimbulkan salah paham masyarakat, sehingga diyakini bahwa berjamaah dalam shalat dhuha dan semisalnya ini disyariatkan dan dianjurkan agama.
Sayyid Abdurrahman Al-Masyhur dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin mengatakan
مسألة: ب ك) تباح الجماعة في نحو الوتر، والتسبيح فلا كراهة في ذلك، ولا ثواب، نعم إن قصد تعليم المصلين وتحريضهم كان له ثواب وأي ثواب بالنية الحسنة، فكما يباح الجهر في موضع الإسرار الذي هو مكروه؛ للتعليم، فأولى ما أصله الإباحة وكما يثاب في المباحات إذا قصد بها القربة كالتقوي بالأكل على الطاعة، هذا إن لم يقترن بذلك محذور كنحو إيذاء، أو اعتقاد العامة مشروعية الجماعة، وإلا فلا ثواب، بل يحرم، ويمنع منها
Artinya, “(Masalah Ba dan Kaf) Mubah berjamaah dalam semisal shalat Witir daJn shalat Tasbih. Jamaah tersebut tidak makruh dan tidak berpahala. Benar demikian. Bila ia bertujuan mengajari orang-orang yang shalat dan mendorong mereka agar melakukannya, maka ia mendapat pahala sebab niat yang baik.
Sebagaimana diperbolehkan mengeraskan suara karena mengajari orang lain pada posisi shalat yang sebenarnya disunahkan melirihkan suara yang sebenarnya makruh. Jadi lebih pantas lagi hal yang asalnya mubah. Sebagaimana pula diberi pahala perbuatan mubah bila ia meniatkannya untuk ibadah, seperti niat mendapatkan stamina dengan makan untuk ketaatan.
Hal ini apabila pelaksanaan jamaah tersebut tidak disertai sesuatu yang dilarang, seperti menyakiti orang lain atau adanya keyakinan orang awam tentang disyariatkannya berjamaah. Bila demikian, maka shalat jamaahnya tidak berpahala, bahkan haram dan harus dicegah.” (Abdurrahman Al Masyhur, Bughyah al Mustarsyidin [Surabaya, Alhidayah, tt.] hal.67) :
Simpulan Hukum
Berdasar keterangan di atas, maka shalat Dhuha secara berjamaah seperti yang dilakukan di berbagai sekolahan, shalat Tahajud dan shalat Tasbih secara berjamaah di masjid-masjid, sebaiknya disertai penjelasan mengenai hukumnya. Sekaligus keterangan bahwa berjamaah dalam shalat-shalat ini dilakukan agar masyarakat lebih semangat dan rutin melaksanakannya.
Dengan demikian, pelaksanaan shalat sunah berjamaah tersebut mendapat pahala merujuk semua pendapat ulama, selain mendapat pahala dari pelaksanaan shalat itu sendiri. Wallahu a’lam bisshawab.
Penulis: Ustadz Muhammad Masruhan, Pengajar di Pondok Pesantren Al-Inayah Wareng Tempuran dan Pengurus LBM PCNU Kabupaten Magelang
Sumber: NU Online