Sabtu Pahing, 16 Nov 2024 / 14 Jumadil Awwal 1446 H
x
Banner

Merayakan Sedekah Bumi di Desa Kunir: Dari Tradisi ke Pariwisata

waktu baca 2 menit
Samsul Maarif
Jumat, 7 Jun 2024 05:27
0
227

DempetNU Online Demak

Pemerintah Desa Kunir, Kecamatan Dempet, Kabupaten Demak, menggelar acara budaya Sedekah Bumi atau Apitan, Selasa (4/6). Acara ini bertujuan untuk melestarikan tradisi dan budaya lokal agar terus diwariskan kepada generasi mendatang. Salah satu kegiatan utama yang menarik perhatian adalah “Gebyur Dawet”.

Bupati Demak, dr. Eisti’anah, yang hadir dalam acara tersebut, menyatakan kekagumannya terhadap keunikan dan daya tarik Sedekah Bumi di Desa Kunir. Ia menyebutkan bahwa acara ini berpotensi menarik wisatawan dari luar daerah karena kemasannya yang menarik, seperti arak-arakan gunungan berisi hasil bumi, lomba-lomba, gebyur dawet, dan pertunjukan wayang.

“Apitan di Desa Kunir ini bisa menjadi salah satu agenda wisata. Selain karena kemasannya yang menarik, berbagai kegiatan tradisional yang diadakan juga sangat unik dan perlu dilestarikan,” ujar Bupati Eisti’anah.

Bupati juga mengungkapkan rasa syukurnya karena hampir semua desa di Demak menyelenggarakan apitan pada tahun 2024, termasuk beberapa desa yang sebelumnya sudah lama tidak mengadakan acara tersebut.

“Alhamdulillah, tahun ini hampir seluruh desa di Demak menyelenggarakan apitan. Ini sebagai wujud rasa syukur kepada Allah atas hasil bumi yang melimpah, yang kita rayakan dengan makan bersama,” tambahnya.

Kepala Desa Kunir, Muhammad Romli, berharap bahwa acara Apitan ini dapat meningkatkan sektor pariwisata di desanya. Ia meminta dukungan penuh dari pemerintah daerah untuk mewujudkan mimpi Desa Kunir menjadi destinasi wisata yang dikenal luas.

“Di Kunir, kami memiliki potensi bawang merah yang luar biasa. Kami ingin menawarkan kepada wisatawan bagaimana proses menanam dan mengelola bawang merah, serta memperkenalkan gudang bawang merah yang mampu menyerap banyak tenaga kerja,” jelas Romli.

Sementara itu, Kepala Dusun Kunir, Sakdun, menjelaskan bahwa tradisi “Gebyur Dawet” sudah ada sejak masa penjajahan Jepang dan dihidupkan kembali dengan harapan mengusir hama.

“Gebyur Dawet ini sudah ada sejak dulu, sejak masa penjajahan Jepang. Kami hidupkan kembali tradisi ini dengan harapan terbebas dari hama,” katanya.

Dalam acara tersebut, dilakukan visualisasi alat bajak sawah tradisional “Lupu” yang dibawa oleh perangkat desa dan diguyur menggunakan minuman dawet, sebagai simbol kesejukan dan kesejahteraan.

“Lupu itu dulu digunakan untuk membajak sawah dengan kerbau, sekarang menggunakan traktor, tetapi tadi divisualisasikan secara manual oleh manusia. Kenapa digebyur? Supaya adem. Begitu pula dengan Pak Kades yang memimpin, agar adem dan sejahtera, serta bumi kita yang sudah tua ini tetap adem,” tutup Sakdun.

Kontributor: Sam/Red

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap lengkapi captcha sekali lagi.

LAINNYA
x