NU Online Demak
Tanggal 7 Ramadhan, kita mengenang wafatnya seorang ulama besar, Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari. Beliau adalah seorang ulama yang sangat berpengaruh dalam sejarah Islam di Indonesia, dan merupakan salah satu pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia.
KH Hasyim Asy’ari lahir pada tanggal 10 April 1871 di Jombang, Jawa Timur. Beliau berasal dari keluarga ulama dan memiliki latar belakang pendidikan yang kuat. Beliau belajar di berbagai pesantren di Jawa, termasuk Pesantren Tebuireng, yang kemudian menjadi pusat pendidikan Islam di Indonesia.
KH Hasyim Asy’ari wafat pada tanggal 7 Ramadhan 1366 Hijriyah, atau 25 Juli 1947 Masehi. Detik-detik sang kiai meninggal, disebabkan karena memikirkan kondisi bangsa pada saat Belanda menyerang kembali Indoesia yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda 1.
Pada waktu itu tepatnya pada 7 Ramadan 1366 H, pukul 21.00 WIB malam, datang dua tamu besar yaitu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang utusan membawa surat untuk disampaikan kepada Hadratussyekh. Yang isinya ”Bung Tomo memohon Kiai Hasyim mengeluarkan komando jihad fi sabilillah bagi umat Islam Indonesia, karena saat itu Belanda telah menguasai wilayah Karesidenan Malang dan banyak anggota laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi korban. Hadratussyekh kembali meminta waktu satu malam untuk memberi jawaban.”
Tak lama berselang, Hadratussyaikh mendapat laporan dari Kiai Ghufron (pemimpin Sabilillah Surabaya) bersama dua orang utusan Bung Tomo, bahwa kota Singosari Malang (sebagai basis pertahanan Hizbullah dan Sabilillah) telah jatuh ke tangan Belanda. kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat sipil kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berujar, ”Masyaallah, Masyaallah…” sambil memegang kepalanya. Lalu Kiai Hasyim tidak sadarkan diri.
Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di Tebuireng. Tapi tak lama kemudian mereka mulai berdatangan setelah mendengar ayahandanya tidak sadarkan diri. Menurut hasil pemeriksaan dokter, Kiai Hasyim mengalami pendarahan otak yang sangat serius.
Pada pukul 03.00 dini hari, bertepatan dengan 25 Juli 1947 atau 7 Ramadan 1366 H, Hadratussyaikh K.H. M. Hasyim Asy’ri dipanggil yang Maha Kuasa. atas jasanya selama perang kemerdekaan melawan Belanda (1945-1947), terutama yang berkaitan dengan 3 fatwanya yang sangat penting: 1. Perang melawan Belanda adalah jihad yang wajib dilaksanakan oleh semua umat Islam Indonesia. 2. Kaum Muslimin diharamkan melakukan perjalanan haji dengan kapal Belanda. 3. Kaum Muslimin diharamkan memakai dasi dan atribut-atribut lain yang menjadi ciri khas penjajah. maka Presiden Soekarno lewat Keputusan Presiden (Kepres) No. 249/1964 menetapkan bahwa KH Muhammad Hasyim Asy’ari sebagai Pahlawan Nasional.
Selain itu Beliau juga meninggalkan sebuah fatwa yang sangat penting untuk kita amalkan ditengah-tengah perkembangan zaman yang semakin pesat dan maju, yaitu didalam pengajian kilatan kitab Jawahir Al-Bukhori, KH Achmad Chalwani menyampaikan sekilas tentang pentingnya sanad dalam mempelajari ilmu agama. Beliau mengutip dari dawuh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari yang mengatakan dalam qonun asasi NU, yaitu :
إِعْلَمْ إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مِمَّنْ يَأْخُذُ دِينَاهُ Yang Artinya: ”Ketahuilah bahwa ilmu agama adalah agama, maka ketika kalian mengambil ilmu agama harus jelas dari siapa kalian mengambilnya, jangan asal ambil.”
Menurut KH Achmad Chalwani, pentingnya sanad dalam mempelajari ilmu agama tidak dapat diabaikan. Sanad merupakan rantai pengetahuan yang menghubungkan kita dengan guru-guru terdahulu, termasuk Nabi Muhammad saw. Dengan memiliki sanad, kita dapat memastikan bahwa ilmu agama yang kita pelajari adalah benar dan sesuai dengan ajaran Islam. namun, saat ini banyak orang yang mempelajari ilmu agama tanpa memiliki sanad. Mereka mempelajari ilmu agama melalui media sosial seperti Youtube, tanpa memiliki guru yang dapat membimbing mereka. Beliau mengibaratkan hal tersebut dalam sebuah maqolah yaitu : مَنْ لَيْسَ لَهُ شَيْخٌ فَشَيْخُهُ الشَيْطَانُ Yang Artinya : “Barangsiapa yang tidak memiliki guru (spiritual), maka gurunya adalah setan.”
Hal ini dapat menyebabkan kesesatan dan kekeliruan dalam memahami ilmu agama. Oleh karena itu, KH Achmad Chalwani menekankan pentingnya mempelajari ilmu agama dengan memiliki sanad. Kita harus mencari guru yang dapat membimbing kita dalam mempelajari ilmu agama, dan kita harus memastikan bahwa guru kita memiliki sanad yang jelas dan benar.
Sumber: NU Online Jateng