NU Online Demak
Menyambut datangnya bulan Ramadhan dan Syawal, masyarakat mengisinya dengan berbagai tradisi yang unik dan sekaligus merepresentasikan kesukacitaan mereka akan hadirnya bulan suci yang penuh rahmat dan berkah ini. Berbagai kegiatan dan upacara tradisi dilaksanakan, tidak hanya yang indah dinikmati oleh yang masih hidup, semisal menata dan memperindah tempat tinggal dan tempat ibadah, tetapi juga menyuguhkan ‘sajian lezat’ bagi mereka yang sudah tiada. Seperti berdoa secara massal dan juga ziarah kubur keluarga secara bersama dengan menabur bunga, atau lazim disebut dengan istilah ‘nyekar’.
Konon, tradisi ini muncul berkat akulturasi budaya Islam-Jawa-Hindu yang mana dalam kepercayaan Jawa roh adalah abadi dan selalu ‘pulang’ menemui keluarga pada setiap bulan ‘Ruwah’ (dalam kalender Islam disebut Sya’ban). Ruwah berasal dari kata ‘Arwah’ bentuk plural dari ‘Ruh’ yang berarti roh. Sehingga, menurut kepercayaan ini, bulan Ruwah merupakan momentum untuk saling bertegur-sapa antara mereka yang sudah meninggal dengan mereka yang masih hidup. Hindu juga memiliki sapaan khas dengan roh nenek moyang dengan beragam sesaji, salah satunya adalah bunga (Jawa: sekar). Kemudian dalam Islam, ziarah kubur merupakan hal yang sangat positif dilakukan sebagai wahana mengingat akan kematian.
Sehingga, dari sisi ritual tradisi ‘nyekar’ merupakan hal yang sangat positif, di samping sebagai wahana memperkuat tali salaturrahim ‘lintas-alam’ juga menjadi sarana mempertebal keimanan akan kehidupan setelah dunia. Interpretasi terhadap makna tradisi ‘nyekar’ ini memang harus lebih produktif. Nyekar bukan hanya realitas dari praktik keagamaan atau kepercayaan, tetapi bahkan lebih luas dari itu, tradisi nyekar melibatkan ranah kebudayaan, sosial, bahkan ekonomi. Karena tradisi nyekar di samping merupakan bentuk akulturasi dan model budaya keislaman pribumi, nyekar juga merupakan ajang merajut kembali akar historis serta merefleksikan masa depan. Artinya, dengan nyekar yang dimaknai secara lebih mendalam, seseorang diharapkan dapat merefleksikan sisi-sisi historis eksistensinya, dari mana dia berasal serta bagaimana dia dibesarkan dan dilimpahi kasih sayang oleh orang-orang yang dia datangi di maqbarahnya itu.
Dengan begitu, diharapkan timbul rasa sayang, iba, dan harapan besar akan ampunan dari Tuhan untuk mereka yang telah ‘kembali’ tersebut. Dan di sinilah ketulusan dan keikhlasan terwujud. Tidak hanya itu, tradisi nyekar juga diharapkan dapat merefleksikan apa yang harus diperbuat seseorang untuk masa depan, yang telah berada di dalam kubur pasti telah meninggalkan banyak pekerjaan yang belum terselesaikan. Bisa berbentuk cita-cita perjuangan, atau bahkan hal-hal yang mungkin harus diperbaiki dalam kehidupan ke depan. Nah, yang masih hidup inilah yang harus meneruskan cita dan harapan tersebut serta memperbaiki semuanya.
Kemudian yang tak boleh terlupakan bahwa tradisi nyekar harus menjadi wahana mengingat kematian, yang mana kematian adalah hal yang pasti, tetapi mati dengan tenang dan husnul khatimah bukanlah sesuatu yang mudah. Untuk mencapai ujung hidup yang indah harus pula terwujud upaya maksimal yang indah pula. Karena dalam bahasa agama, hanya yang kita perbuatlah yang nanti kita bawa sebagai bekal menghadap-Nya, berupa amal yang tiada putus pahalanya (amal jariyah), ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang senantiasa mendoakan.
Makna Tradisi Haul
Haul adalah peringatan atas kematian seseorang yang biasanya diadakan selama setahun sekali dengan tujuan utamanya yaitu untuk mendoakan ahli kubur agar semua amal beserta ibadah yang dilakukannya dapat diterima oleh Allah SWT. Biasanya, para keluarga yang masih kerabat dekat dengan seseorang yang telah meninggal tersebut akan mengadakan acara haul pada hari serta tanggal yang telah disepakati bersama oleh keluarganya, dan pada saat mereka mempunyai waktu senggang serta bisa berkumpul bersama. Haul yang diadakan di pesantren-pesantren akan diperingati untuk para pendiri serta tokoh-tokoh yang telah berjasa terhadap perkembangan pesantren serta syi’ar Islam yang diadakan bersamaan dengan acara tahunan pesantren, semisal khataman kitab akhir tahun, pertemuan wali santri, ataupun dzikir akbar tahunan.
Tradisi haul sendiri diadakan dengan berdasarkan hadits dari Rasulullah SAW. Rasulullah berziarah ke makam syuhada (orang-orang yang mati syahid) dalam perang Uhud dan makam keluarga Baqi’. Beliau mengucap salam dan mendoakan mereka atas amal-amal yang telah mereka kerjakan. (HR. Muslim) Ada pula hadits lain yang diriwatkan oleh Al-Wakidi bahwa Rasulullah SAW mengunjungi makam para pahlawan perang Uhud setiap tahun. Jika telah sampai di Syi’ib (tempat makam mereka), Rasulullah agak keras berucap: Assalâmualaikum bimâ shabartum fani’ma uqbâ ad-dâr. (Semoga kalian selalu mendapat kesejahteraan atas kesabaran yang telah kalian lakukan. Sungguh akhirat adalah tempat yang paling nikmat). Abu Bakar, Umar dan Utsman juga malakukan hal yang serupa. (Dalam Najh al-Balâghah, hlm. 394-396)
Di dalam pelaksanaannya, para ulama telah menyatakan bahwa dalam peringatan haul tidak dilarang oleh agama, bahkan dianjurkan. Ibnu Hajar dalam Fatâwa al-Kubrâ Juz II hlm 18 menjelaskan, para sahabat dan ulama tidak ada yang melarang peringatan haul sepanjang tidak ada yang meratapi mayit atau ahli kubur sambil menangis. Peringatan haul sedianya diisi dengan menuturkan biografi orang-orang yang alim dan saleh guna mendorong orang lain untuk meniru perbuatan mereka. Peringatan haul yang biasa diadakan secara bersama-sama akan menjadi penting bagi umat Islam untuk sekadar bersilaturahim satu sama lain, lalu berdoa sembari memantapkan diri untuk mencontoh segala tauladan dari para pendahulu kita, serta menjadi forum penting untuk menyampaikan nasihat-nasihat keagamaan.
Manfaat Haul
Secara etimologi, haul berarti satu tahun, sebagaimana dinyatakan dalam buku ‘Peringatan haul ditinjau dari Hukum Islam’ dari KH Hanif Muslih. Secara istilah, bermakna peringatan yang diadakan setahun sekali bertepatan dengan wafatnya tokoh masyarakat. Haul bertujuan untuk mengenang jasa orang yang sudah tiada dan sebagai pengingat kematian, sebagaimana nasehat ulama ‘Wa Kafaa Bil Mauti Wa Idzha’ yang artinya ‘Cukuplah kematian sebagai pemberi nasehat’. Banyak kita saksikan orang yang hidup lupa akan kematian, bak hidup 1000 tahun lamanya. Maksiat, berbuat zalim, korupsi, sikut sana sikut sini, tak ingat kematian selalu mengintainya. Lalu, apa saja manfaat haul bagi penyelenggaranya maupun yang dihaulkan? Berikut empat manfaat yang penulis bagi dari ceramah penulis pada sebuah acara.
Pertama, manfaat bagi orang yang dihaulkan. Mengapa? Karena karena didoakan oleh banyak orang. Orang yang sudah dikubur seperti orang yang tenggelam di laut. Dikasih apa saja tidak akan mau. Dikasih uang, mobil, tidak akan mau. Yang dia mau ban mobil buat ngapung. Sama seperti orang yang sudah di kubur, yang dia perlu adalah kiriman doa dari orang yang hidup. Allah berfirman dalam QS Al-Hasyr: 10 ‘Walladziina jaa-u mim ba’dihim yaquuluuna, Rabbanaghfirlanaa wali ikhwaaninalladzina tsabaaquna bil iman, walaa taj’al fii quluubina ghillan lilladzina aamanu, robbanaa innaka ra’ufurrahiim’, ‘Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansor) mereka berdoa: Yaa Rabb Kami beri ampunanlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami dan janganlah engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan Kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.
Dari QS Al-Hasyr tersebut menunjukkan bahwa di antara bentuk kemanfaatan yang dapat diberikan oleh orang yang masih hidup kepada orang yang sudah meninggal dunia adalah doa. Ayat tersebut mencakup umum yaitu doa yang ditujukan pada orang yan masih hidup dan orang yang telah wafat. Pada Riwayat lain, ada pula anak yang bertanya pada Rasulullah SAW: ‘Bagaimana cara berbakti pada orang tua yang sudah wafat? Kata Rasul: “Ash-shalaytu alayhima’, ‘Doakan keduanya’.
Kedua, manfaat buat pihak yang mengadakan haul. Bagi yang mengadakan haul, supaya ingat kembali pada tokoh yang dihaulkan bahkan orang tua atau leluhur yang sudah mendahului. Sungguh kematian itu tidak mengenal usia, baik yang muda apalagi yang tua. Janganlah bangga sama umur muda, punya tubuh segar, wajah tampan/cantik, Kesehatan terjamin, mengira akan jauh dari kematian. Zaman sekarang masih muda sudah punya pabrik gula, cincin bukannya dipakai di jari malah dipakai di jantung, Apalagi sakit stroke, berat se-truk mah, se-colt pickup aja berat. Artinya kematian dan sakit tidak kenal usia, kapan saja dapat menimpa seseorang.
Umur manusia tambah lama tambah berkurang, berbeda dengan zaman dulu. Nabi Adam (1000 th), Nabi Idris (865 th), Nabi Nuh (950 th), Nabi Hud (467 th), Nabi Ibrahim (200 th), Nabi Musa (120 th), Nabi Daud (100 th), Nabi Isa (33 th), Nabi Muhammad (63 th) dan Umat Nabi Muhammad SAW (50-70 th), Allah berfirman dalam QS Al-A’raf: 34, setiap umat mempunyai batas waktu: ‘Wali kulli ummatin ajlun fa-idzaa jaa-u, ajluhum laa yastak-khiruuna sa-atan walaa yastaqdimuun’ ‘Dan setiap umat mempunyai batas waktu maka apabila telah datang batas waktunya, mereka tidak dapat mengundurkannya sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannnya’.
Ketiga, manfaat haul untuk memperkuat silaturahim dan ukhuwah antarwarga. Dalam acara haul kita dapat bertemu saudara, teman, senang dan bahagia kumpul bersama-sama. Habis acara, jamaah pulang dibawain besek. Rizki itu seneng bahagia, Insyaallah panjang umur. Dengan silaturahim, maka mempermudah rizki dan memperpanjang umur sebagaimana hadits Nabi SAW: ‘Man sarrahu ayyubsata lahu fii rizqihi wa ayyunsa’a lahu fii atsarihii fal yasil rohimahu’ ‘Barang siapa yang ingin dikekalkan dalam rezekinya dan ingin dipanjangkan umurnya maka supaya menyambung famili (silaturahim)’ (HR Bukhori).
Keempat, manfaat haul sebagai ibrah/pelajaran/hikmah bagi umat. Dengan acara haul menjadi ibrah/pelajaran bagi ummat bahwa setiap orang akan berniat/berusaha menjadi figur yang memberikan kesan baik supaya jadi perbincangan baik bagi orang-orang yang ditinggalkan/dunia seperti maqalah Imam Duraits: ‘Innamal mar’u haditsun ba’dahu, fakun haditsun hasanan liman wa’a, walaysal mar’u yuuladu ‘aliman’, artinya ‘Manusia akan menjadi perbincangan setelah ia tiada, maka bagi orang yang berakal akan berusaha menjadi perbincangan yang baik, maka jadilah figur yang dapat memberikan kesan baik’.
Maka berusahalah jadi ‘Khairunnaas anfa uhum linnaas’, artinya: ‘Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya’ (HR Bukhari Muslim).
Alangkah bahagianya sang tokoh yang dihaulkan atau orangtua/guru yang sudah wafat melihat anak/murid yang mendoakannya bersama sahabat, tetangganya, bahkan banyak orang lainnya. Semoga almarhum almarhumah tenang, terang, dan luas di alam kuburnya serta dijadikan kuburnya taman dari taman surganya Allah SWT. Wallahu a’lam bis shawab.
Muhamad Sochib, Wakil Sekretaris PWNU Jateng, alumni Pesantren Roudlotul Muttaqin dan Futuhiyyah Mrangen, Demak
Sumber; NU Online Jateng