Demak Kota, NU Online Demak
Menurut pernyataan juru kunci makam, Mbah Muslimin mengatakan kalau Mbah Panji Kusumo merupakan Putra Raja dari Kediri, waktu itu Kerajaan Kediri sedang mengalami suatu gejolak, kemudian Pangeran Panji disuruh untuk melarikan diri ke barat yakni Selat Muria antara Demak, Kudus dan Jepara dan sampailah di Pesisir Demak tepatnya sekarang menjadi Desa Bungo, Demak, Jawa Tengah.
Setelah menemukan lokasi yang dituju, Mbah Panji melakukan tirakat agar bagaimana tempat yang ia pijaki bisa menjadi sebuah Desa, dalam tirakat tersebut Mbah Panji melakukan topo broto (tidak makan dan tidur) dalam rangka bagaimana untuk menjauhkan gangguan makhluk-makhluk jahat agar tempat tersebut tidak diganggu kembali dan cita-cita untuk mendirikan sebuah desa bisa terwujud.
Mbah Panji hidup di era kewalian, beliau merupakan murid dari Kanjeng Sunan Kalijaga sekitar tahun 1500-an, Mbah Panji mempunyai istri bernama Dewi kubro atau masyarakat sekarang sering menyebutnya Dwi kebrok, makamnya tidak jauh dari Mbah Panji Kusumo.
Selain Makam Mbah Panji dan Istrinya, juga terdapat beberapa makam lain yang merupakan masih keluarga besar yakni Mbah Bagus Santri yang juga merupakan santri dari Kanjeng Sunan Kalijaga. Ada juga Mbah Cirebon Sabdo Dadi yang merupakan anak mantu, Citro Moyo dan Mbah Nur Salim.
Setelah menjadi Desa, desa tesebut dihuni dari banyak berbagai kalangan campuran termasuk orang-orang yang banyak bermaksiat, namun Mbah Panji tetap bersabar, beliau berusaha mengalahkan orang-orang tersebut dengan menggunakan ilmu–tidak dengan menggunakan kekerasan apalagi peperangan namun dengan menggunakan pendekatan kebijaksanaan yang arif yakni salah satunya dengan memberikan ikan-ikan gratis kepada warga setempat.
Lewat cara dakwah yang dilakukan Mbah Panji tersebut, masyarakat yang dulu ekonominya lemah, lambat laun perekonomianya bisa terangkat, berbudi bowo laksana.
Selain makam, menurut cerita turun temurun–ada peninggalan lain dari Mbah Panji yakni jubah yang sekarang warisan barang tersebut berada di Benteng Portugis, Jepara.
Untuk renovasi pembangunan Makam sendiri terhitung belum terlalu lama, yakni mulai tanggal 11 bulan 11 dan tahun 2011.
“Setiap buka luwur atau kirab budayanya jatuh di bulan Syuro dan untuk Haul nya sendiri Rabu Legi entah itu dibulan Juni atau Juli yang penting ada Rabu Leginya,” terang Muslimin.
Sampai-sampai, lanjutnya, kalau ada warga yang mau mengadakan hajat selalu menghindari dengan hari rabu legi. “Ketika Haul sendiri bisa sampai 5000-an lebih peserta yang hadir. Selain haul dan kirab, biasanya para peziarah paling ramai waktu Jumat Wage,” jelasnya pada Jumat (24/3/2023).
Untuk penamaan nama Desa Bango sendiri ada yang mengatakan kalau dulu Mbah Panji itu suka sekali dengan yang namanya menanam bunga, karena dulu tempat tersebut adalah pesisir yang notabenya baunya amis, maka dengan menanam banyak bunga diharapkan desa bisa menjadi wangi. Makanya disebut Desa Bango atau dari kata Bunga.
Selain itu, Mbah Panji waktu itu juga mempunyai Karomah lain, seperti diceritakan waktu jaman penjajahan dulu, rata-rata semua tempat di bumi hanguskan oleh penjajah, namun hanya Desa Bungo saja yang tidak terbakar. Kemudian, seringkali para nelayan yang sedang mengalami kesulitan atau musibah ketika di laut, terus dimintakan wasilah pertolongan melalui Mbah Panji, seketika nelayan tersebut mendapat pertolongan dengan mengucap. “Mbah, tulung kulo putu jenengan.” pungkasnya.
Kontributor: Samsul Maarif
Editor: Choerul Rozak