Purwakarta, NU Online Demak
Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) untuk pertama kalinya menggelar satu forum bahtsul masail yang secara khusus hanya diikuti dari kalangan perempuan. Ketua LBM PBNU KH Mahbub Maafi menjelaskan, di antara tujuan dilaksanakannya kegiatan ini adalah untuk mencari bibit unggul ulama perempuan NU.
“Salah satu yang diamanatkan Ketum PBNU kepada LBM Pengurus Besar Nahdlatul Ulama adalah untuk menemukan bibit-bibit unggul. Kira-kira ingin menjadikan mufti-mufti perempuan lah,” kata Kiai Mahbub saat mengisi sambutan dalam kegiatan Halaqah Fiqih Peradaban dan Bahtsul Masail Kyai dan Nyai Se-Indonesia yang berlangsung di Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta, Jawa Barat, Sabtu (6/5/2023).
Dalam kesempatan tersebut, Kiai Mahbub menceritakan sosok ulama perempuan yang cantik dan luar biasa, yaitu Fatimah As-Samarqand, putri dari seorang ulama penulis kitab Tuhfatul Fuqaha, Syekh Muhammad bin Ahmad As-Samarqandi.
“Fatimah banyak dilamar oleh para pembesar, namun ditolak,” jelas Kiai Mahbub.
Suatu hari, kata dia, ada seorang santri bernama Alaudin Al-Kasani yang berguru kepada Syekh Muhammad As-Samarqand yang yang di kemudian hari menjadi menantunya karena menikahi Fatimah.
“Tiba-tiba ada sosok namanya Alaudin Al-Kasani, nyantri kepada bapaknya kemudian mensyarahi kitab Tuhfatul Fuqaha menjadi nama kitab Bada’ius Shanai’ fi Tartibisy Syarai’,” jelasnya.
Menariknya, kata Kiai Mahbub, Fatimah ini mampu memberikan fatwa kepada Syekh Alaudin Al-Kasani yang dikenal sebagai ulama terkemuka.
“Saya berharap nanti para bu nyai setelah pulang bisa menjadi mufti minimal bagi suaminya,” jelasnya.
Dalam pelaksanaanya, kegiatan bahtsul masail ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok kiai dan nyai. Kelompok bahtsul masail para kiai menyoroti dan membahas tentang politik hukum dalam RUU Kesehatan pasal 154 yang menyetarakan tembakau dengan narkotika.
Sementara kelompok bahtsul masail para nyai menyoroti dan membahas tentang UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Ada sejumlah pertanyaan yang menjadi pembahasan dalam bahtsul masail tersebut, yaitu (1) alat bukti apa saja yang bisa digunakan untuk membuktikan pidana perkosaan? (2) Bisakah sumpah digunakan sebagai alat bukti terjadinya tindak pidana perkosaan? (3) Apakah mengaku diperkosa sama dengan menuduh berzina, sehingga bisa diperlakukan pula mekanisme sumpah li’an?
Sumber: NU Online/redaksi/cr