NU Online Demak
Terpenuhinya syarat -syarat mufti yang telah dirumuskan oleh para fuqoha’ mutaqoddimin itu hanya terpraktek pada diri seorang yang mampu melakukan penggalian hukum secara langsung dari dalil-dalil primer fiqih Islam.
Suatu ketika saat kondisi seperti pada masa sekarang ini, dimana oleh Imam Haromain al Juwaini (419-478 H) Guru Hujjatul Islam Al Ghozali, dalam kitabnya “Ghiyasul Umam” halaman 395 disebut dengan masa :
“خلو الزمان عن المجتهدين و نقلة المذاهب ”
Artinya: Mufti yang mempunyai kompetensi seperti diatas adalah barang yang langka sekali.
Namun hal itu bukan menjadi penghalang bagi seseorang untuk “berfatwa” ketika diminta memecahkan persoalan-persoalan hukum fiqih. Dasar hukumnya adalah kaidah fiqih yang berbunyi :
1.”الضرورات تبيح المحظورات”
Maksudnya adalah ketika tidak ditemukan sosok yang mampu melakukan ijtihad langsung dari Al-Qur’an dan Hadits dengan menggunakan piranti ilmu Ushul fiqh dan ilmu-ilmu yang terkait dengan istimbath al ahkam. Maka mengambil langkah dengan menurunkan grade persyaratan yang telah ditetapkan untuk mufti mujtahid adalah bukan sebuah langkah yang ceroboh.
Langkah ini adalah terobosan yang dimunculkan oleh imam Haromain Al Juwaini dan dipedomani para ulama kurun setelahnya, sebagai solusi menghadapi kenyataan ketiadaan mujtahid. Berikut pernyataan imam Haromain Al Juwaini dalam kitab “Ghiyasul Umam” :
“الإنتقال لنقلة المذاهب أنه على من تفقه و تفطن في معرفة المذاهب المعتمدة نقل ما فيها وإن لم يكن أهلا للإجتهاد ”
Bahkan langkah ini pula adalah termasuk upaya memastikan sejauh mana persyaratan “mufti mujtahid” bisa terpenuhi (تحقيق المناط ), dan berkompromi dengan realita yang ada (مراعاة الزمان ) sebagaimana penjelasan pada “mufti dhorurot”. Sehingga pintu fatwa itu selalu terbuka, tidak tertutup.
Dr. Muhtar Muhsin Muhammad , Sekjen lembaga Darul Ifta’ Mesir, menandaskan bahwa orang yang mendalami disiplin ilmu fiqih itu dikelompokkan menjadi 3 level berdasarkan pendapat yang dikutip dari imam al Qorrofi (w.595 H) dalam kitab “Al Furuq” halaman 107-110 :
Pertama, Tholib yang hanya menghafalkan mukhtasor madzhabnya tanpa menelaah lebih jauh detail-detail hukum didalamnya. Sehingga dia tidak mengetahui hal-hal yang dibatasi atau hal-hal yang dikecualikan. Tholib kategori pertama ini secara umum tidak mempunyai kewenangan untuk berfatwa dan secara tegas tidak boleh melakukan takhrij (Pengembangan hukum dengan cara ilhaq) atas pendapat imam madzhabnya. Namun pada kondisi tertentu dia boleh berfatwa, seperti ketika dia mendapatkan pertanyaan fiqih, kemudian dia menelaah penjelasan dalam kitab syarah dan kasus yang ditanyakan itu sesuai dengan apa yang telah dijelaskan oleh imam madzhabnya.
Kedua, Tholib yang tidak hanya sebatas menghafal mukhtasor madzhab imamnya, tapi lebih dari itu dia menelaah detail-detail dan batasan hukum secara lebih jauh. Dan meneliti pula dalil-dalil dan ‘illat -‘illat hukum yang menjadi landasan istinbath imam-nya. Tholib pada tingkatan ini mempunyai potensi kuat untuk berfatwa berdasarkan sejauh pemahamannya terhadap apa yang dikehendaki oleh imam-nya. Dan dapat menerapkan fatwanya selaras dengan maqhosid imam-nya, dengan syarat harus kokoh keilmuannya.
Ketiga, Tholib yang memenuhi dua kategori diatas ditambah memiliki sifat ‘adalah (العدالة ) dan amanah, maka dia dianggap layak (أهلا ) untuk berfatwa dan dapat dipedomani fatwanya baik dengan metode”naql” / mengutip pendapat imam-nya atau dengan metode “takhrij “.
Jenis-jenis Metode Fatwa
Menurut penelitian Dr. Muhtar muhsin muhammad, macam-macam fatwa berdasarkan tingkatan mufti itu terbagi menjadi 3 :
. “الفتوى بما هو منصوص المذاهب الفقهية”
Fatwa jenis pertama ini tidak lain adalah mengambil dan menerapkan hasil ijtihad imam-nya pada persoalan fiqih yang dihadapi, dimana detail masalahnya sama dengan apa yang sudah ditulis imam-nya.
Seperti contoh ada orang yang mempunyai sejumlah harta dan telah disimpan selama setahun, berapa kewajiban zakatnya ?
Maka mufti menjawab: ” ketika harta tersebut telah mencapai nishob, maka wajib dikeluarkan zakatnya 2,5 %.”
Peran mufti dalam hal ini adalah memastikan syarat wajib zakat telah terpenuhi, yaitu harta telah benar-benar tersimpan selama setahun dan kadar nishobnya. Jadi, meski si mufti tidak ber-ijtihad pada pokok hukum syara’, tapi dia telah melakukan upaya “nadhor ” ; verifikasi dan validisasi persyaratan wajib zakat.
“الفتوى بالتخريج على المنصوص ”
Maksudnya adalah ketika kasus yang sedang dibahas itu tidak termaktub hukumnya dalam kitab-kitab fiqih, maka seorang mufti memaksimalkan kerja akalnya meng-identifikasi hukum dengan menelusuri produk – produk fiqih yang mempunyai pola (makna) yang mirip ( الفروع المشابهة ) dengan kasus yang sedang dibahas.
Kemudian setelah itu mufti melakukan takhrij
dengan cara meng-ilhaqkan kasus yang belum tercantum hukumnya dengan “al furu’ al musyabihah” tadi. Atau dengan istilah lain yaitu; meng-aplikasikan makna yang bersifat kully (Global ) terhadap kasus fiqih yang terkandung di dalam makna kully tersebut /
(تطبيق معنى كلي على ما يندرج تحته )
Contohnya adalah ijtihad Grand Syaikh al Azhar Syaikh Ibrohim al Bajuri (w. 1276 H) dalam hasyiyah-nya atas syarah Ibnu Qosim, Beliau memasukkan kacang lupin dan kopi serbuk dalam komoditas ribawy dengan meng-aplikasikan kaidah ;
“المطعومات هي ما يقصد غالباً للطعم اقتياتا أو تفكها أو تداويا ”
Metode fatwa jenis ini juga seringkali ditempuh dalam forum – forum Bahsul Masa’il ad Diniyyah dibawah naungan Nahdlatul Ulama’ , ketika para mubahisin tidak menemukan ‘ibarot yang shorih dalam kitab-kitab turots klasik, terutama dalam persoalan mua’malah kontemporer. Maka para mubahisin akan berusaha ekstra untuk melakukan ilhaq dengan menelusuri ibarot -ibarot klasik yang memiliki kemiripan pola (makna) dengan persoalan baru yang sedang dikaji hukumnya.
“الفتوى بالجماعية ”
Ketika problematika fiqih aktual itu tidak ditemukan hukumnya baik secara “nash shorih” (literal) maupun “nadhoir-nya” ( produk fiqih yang mempunyai kemiripan makna) dalam fiqih klasik . Maka seorang mufti berupaya menghadirkan dalil – dalil secara langsung dengan perangkat kaidah – kaidah Ushul fiqhnya untuk menjawabnya.
Tentu hal ini adalah bagi mufti yang mempunyai kapasitas Ijtihad dengan strata tertinggi, sempurna penguasaan fiqihnya dan memahami kasus aktual fiqih (الواقع ) dengan baik . Jika tidak ditemukan mufti yang memenuhi persyaratan ini, maka dapat beralih dengan menggunakan metode “Fatwa kolektif” (الفتوى الجماعية ) dengan menghadirkan pakar – pakar yang terkait dengan kasus fiqih yang sedang dibahas.
Metode fatwa jenis ini umum ditempuh oleh lembaga – lembaga fatwa modern, ketika perkembangan teknologi dan informasi yang sedemikian rupa dimana menjadikan dunia yang luas ini seperti satu desa. Kemudian dari sini memunculkan bentuk – bentuk mua’malah baru yang bahkan tidak terjangkau oleh produk- produk fikih asumsi (الفقه الافتراضي ) fuqoha’ masa lalu . Seperti bursa efek, bursa saham, pasar modal dan penemuan – penemuan dibidang Ilmu kedokteran, dan persoalan-persoalan kontemporer lainnya yang butuh untuk dilakukan penelitian dan ijtihad hukumnya, kemudian dikeluarkan fatwanya.
Wallahu ‘alamu bis showab.
Penulis : H. Afif Achmad (LBM NU Demak)