Jakarta, NU Online Demak
Salah satu amalan yang sering dilakukan di saat datangnya bulan Rajab adalah puasa sunnah Rajab. Namun tak jarang ada yang mempermasalahkannya. Lantas bagaimana cara menyikapi kontroversi ini?
Dalam artikel NU Online berjudul Penjelasan Seputar Kontroversi Kesunahan Puasa Rajab, Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM PBNU) Alhafiz Kurniawan menjelaskan cukup detail mengenai permasalahan ini.
Ia menjelaskan bahwa setiap amalan yang dilakukan oleh umat Islam hendaknya memiliki dasar yang kuat, baik itu Al-Qur’an, hadits, ijma’, maupun qiyas.
“Dari sini kemudian suatu amal ibadah dapat dimasukkan ke dalam dua kategori, sunnah atau bid’ah. Amalan sunah adalah amalan yang memiliki pijakan dalam sumber agama Islam. Sedangkan amalan bid’ah adalah amal yang tidak memiliki pijakan dalam Islam,” jelasnya.
Ia kemudian memberikan penegasan bahwa ada hal yang perlu diingat, yakni amalan sunnah dan bid’ah yang dibahas ini menurut definisi syariah, bukan secara bahasa yang cakupannya terlalu umum sehingga apa pun dapat dikenakan label bid’ah.
Hal ini sebagaimana penjelasan dari seorang ulama Mazhab Hanbali, Imam Ibnu Rajab Al-Hanbali yang ia kutip penjelasannya dalam Kitab Syarah Shahih Bukhari.
“Ibnu Rajab Al-Hanbali mengatakan, ‘Yang dimaksud bid’ah sesat itu adalah perkara baru yang tidak ada sumber syariah sebagai dalilnya. Sedangkan perkara baru yang bersumber dari syariah sebagai dalilnya, tidak termasuk kategori bid’ah menurut syara’/agama meskipun masuk kategori bid’ah menurut bahasa’,” tulis Alhafiz.
Lalu bagaimana penjelasan mengenai puasa di bulan Rajab yang sering dilakukan oleh masyarakat, khususnya Indonesia? Ia menjelaskan bahwa tidak ada hadits yang bisa dipertanggungjawabkan menyebutkan anjuran untuk mengamalkan puasa sunnah Rajab secara lugas dan spesifik.
“Tetapi yang perlu diingat, larangan untuk berpuasa di bulan Rajab juga tidak ditemukan di dalam Al-Quran, hadits, ijma’ sebagai sumber hukum Islam. Artinya, puasa sunnah di bulan Rajab tidak bisa dikatakan bid‘ah,” ungkapnya.
Menurutnya, hal ini sebagaimana yang disebutkan oleh Imam An-Nawawi yang penjelasannya terdapat di dalam Kitab Faidhul Qadir bi Syarhi Jami’is Shaghir. Dalam keterangan tersebut, Imam Nawawi mengatakan bahwa tidak ada riwayat perihal puasa Rajab yang berisi anjuran dan larangan secara spesifik.
“Imam An-Nawawi mengatakan, tidak ada riwayat perihal puasa Rajab yang berisi anjuran dan larangan secara spesifik. Tetapi ibadah puasa pada prinsipnya dianjurkan dalam agama,” jelasnya.
Untuk itu, Alhafiz memberikan kesimpulan bahwa agama Islam menganjurkan secara umum ibadah puasa di bulan dan hari apa saja kecuali hari-hari larangan puasa yang disebutkan oleh agama secara lugas, yaitu puasa di dua hari raya Id dan hari tasyrik (11, 12,13 Dzulhijjah).
“Artinya, Rajab termasuk bulan di mana kita dianjurkan untuk berpuasa. Meskipun tidak ada dalil secara rinci, dalil umum menganjurkan umat Islam untuk mengamalkan puasa sunnah Rajab,” bebernya.
“Adapun perbedaan pendapat di tengah masyarakat mesti disikapi dengan bijaksana. Setiap pihak tidak boleh memaksakan kehendaknya. Semuanya harus menghargai pandangan orang lain yang berbeda,” tutup dia.
Sumber: NU Online