Kudus–NU Online Demak
Perang saudara selama 3 (tiga) hari di bulan Dzul Hijjah 930 H/ Oktober 1524 M yang menyebabkan wafatnya Adipati Loram, Raden Muhammad Amiruddin Hasan bin Raden Fatah, sekeluarga (istri dan ketiga anaknya), membuat para punggawa kerajaan Demak Bintoro menjadi geram yang akhirnya diutuslah Syekh Ja’far Shodiq (Sunan Kudus) yang saat itu menjabat sebagai Panglima Perang Angkatan Darat yang ketiga dan bergelar Jendral Ja’far Shodiq (1509-1525 M) diperintah oleh Raja Demak Bintoro, Raden Trenggono, dan Patih Mangkubumi, Ronggo Toh Joyo, yang disetujui oleh Ketua Dewan Walisongo, Sunan Kalijogo, untuk menyelesaikan masalah antara Loram dengan Tajug (Kudus) yang saat itu dipandegani oleh Resi Lokajaya agar tidak pernah terjadi lagi peristiwa serupa yaitu perang saudara antar sesama meskipun beda agama.
Hal itu disampaikan oleh Ahmad Kastono Abdullah Hasan, peneliti Sejarah Kerajaan Demak Bintoro dan Walisongo, saat menjadi narasumber Sarasehan “Sejarah dalam Budaya Kearifan Lokal Masa Kini”, yang dilaksanakan di kompleks Situs Sumur Gentong Desa Loram Wetan, Kecamatan Jati, Kudus, Sabtu (06/07/2024).
Maka pada awal tahun 1525 M/931 H lanjutnya, pasukan Demak Bintoro yang dipimpin oleh Sunan Kudus bersama masyarakat Loram bergabung menyerbu Tajug, yang berakhir Perang Tanding dengan adu kesaktian antara Sunan Kudus dengan Resi Lokajaya dan dimenangkan oleh Sunan Kudus.
“Untuk menjaga stabilitas wilayah Tajug dan Loram, akhirnya Sunan Kudus diperintah oleh Dewan Walisongo untuk tetap tinggal di Kudus sejak tahun 1525 M hingga wafatnya pada tahun 1550 M dalam usia 109 tahun”.
Mengingat pada tahun 1525 M, Sunan Kudus sudah berusia 84 tahun, maka pada tahun itu beliau mundur dari jabatan Panglima Perang Angkatan Darat yang kemudian digantikan oleh Teuku Muhammad Thoha yang populer dengan sebutan Jendral Brojodento yang makamnya ada dibelakang kantor PMI Demak, tuturnya.
Meskipun jabatan Panglima Perang Angkatan Darat diijinkan mengundurkan diri oleh Dewan Walisongo, namun jabatan sebagai anggota Majelis Syuro di Kerajaan Demak Bintoro tidak diperbolehkan mengundurkan diri dan tetap menyandang sebagai Sunan Kudus hingga wafatnya.
Setelah masyarakat Tajug menerima kekalahannya, akhirnya Sunan Kudus mengumumkan fatwa bahwa masyarakat Kudus dilarang menyembelih sapi, meskipun untuk keperluan ibadah kurban. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1525 M/931 H dan dikeluarkan oleh Sunan Kudus untuk menghargai masyarakat Tajug (Kudus) yang masih banyak menganut Hindu.
Sebab dari peristiwa penyembelihan sapi itulah yang menjadi awal mula terjadinya perang saudara antara penganut agama Hindu di Tajug (Menara Kudus sekarang) dengan penganut Islam di Loram (Kudus Timur).
Fatwa itulah yang menyebabkan masyarakat Tajug menghormati Sunan Kudus yang akhirnya banyak masyarakat Tajug yang masuk Islam dan bagi yang masih berpegang teguh pada agamanya (Hindu), mereka meninggalkan Tajug dan pergi ke Rahtawu, kata AKA Hasan sapaan Ahmad Kastono Abdullah Hasan kepada NU Online Demak, Sabtu (13/07/2024).
Fatwa dilarangnya menyembelih sapi pada saat itu, kini dinamakan kearifan lokal karena fatwa Sunan Kudus saat itu disesuaikan keadaan agar tidak menyinggung perasaan warga Tajug yang masih banyak menganut Hindu. Disamping itu, menurut Sunan Kudus, ibadah kurban tidak harus menyembelih sapi, sebab masih ada kambing dan kerbau yang cukup banyak di tanah Jawa, tutup AKA Hasan.
Kontributor: Soleh/Red