Sabtu Pahing, 16 Nov 2024 / 14 Jumadil Awwal 1446 H
x
Banner

Ratu Lembah; Wali Pendukung Berdirinya Dewan Walisongo dan Kerajaan Demak Bintoro

waktu baca 5 menit
Rohmad Sholeh
Jumat, 11 Okt 2024 13:41
0
391

Karanganyar-NU Online Demak

Ratu Lembah nama aslinya Nyai Siti Sholikhah, ia putri Syekh Maulana Mudhofar Malik Hasan al-Maghribi, Mbah Maghribi Demak. Ratu Lembah di kalangan kaum bangsawan dan masyarakat Demak sering disebut dengan Putri Wandan Kuning, karena kulitnya putih ke-kuning-kuningan. Gelar Ratu Lembah ia dapatkan saat menikah dengan Sri Ratna Aji Pangkaja Parameshwara atau yang lebih populer dikenal dengan nama Arya Damarwulan dari Majapahit, dan mulai saat itulah Nyai Siti Sholikhah bergelar Ratu Lembah dari Demak. Ratu Lembah hingga saat ini masih terkenal di kalangan masyarakat Demak sebagai ibu angkat Raden Fatah.

Demikian itu disampaikan oleh Ahmad Kastono Abdullah Hasan atau yang akrab disapa AKA Hasan, peneliti Sejarah Kerajaan Demak Bintoro dan Walisongo, saat mengisi Seminar Sejarah Islam dengan tema “Tokoh Perempuan Pendakwah Islam yang Berjasa dalam Penyebaran Islam di Zaman Kewalian dan di Masa Kerajaan Demak Bintoro” yang diselenggarakan oleh Pimpinan Anak Cabang (PAC) Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Demak, bekerjasama dengan Forum Kajian Sejarah Kerajaan Demak Bintoto dan Walisongo, Ahad (29/09/2024) beberapa waktu lalu.

Ratu Lembah lanjut AKA Hasan, adalah anak kedua Mbah Maghribi Demak dan ia lahir di Granada Spanyol tahun 1382 M/784 H. Ratu Lembah hijrah ke Jawa (Demak) mengikuti ayahnya dan rombongan masyarakat Maghribi pada tahun 1387 M, kemudian orang tuanya membuat perkampungan dan pesantren yang dinamakan Pesantren Glagah Wangi Demak, sehingga pesantren yang dibangun ayahnya tersebut berkembang dengan pesat dan menjadi pusat perkembangan Islam di Demak maupun di tanah Jawa, karena banyak santri dari berbagai daerah yang belajar agama Islam di Pesantren Glagah Wangi Demak tersebut.

Sebelum perang Paregreg tahun 1404-1406 M, Ratu Lembah dinikahkan dengan pembesar Majapahit yang bernama Sri Ratna Aji Pangkaja Parameshwara yang populer dengan sebutan Arya Damarwulan dan dari pernikahan ini lahirlah anak laki-laki yang bernama Bondan Kejawen, nama santrinya Abdul Rohim, dan nama keratonnya Raden Permana Putra Parameshwara yang orang Pajang dan Mataram dalam naskah Babadnya menyebutnya sebagai Lembu Peteng.

Ratu Lembah pernah hidup dan tinggal di Keraton Majapahit mendampingi suaminya, Arya Damarwulan, dan hidup berdampingan secara baik dengan istri kedua suaminya yang bernama Dewi Kencana Wungu atau Dyah Rani Suhita binti Dyah Wikrama Wardhana. Ketika suaminya menjadi Ketua Dewan Sapta Prabu di Majapahit, dan Dewi Kencana Wungu menjadi Ratu (Raja) di Majapahit menggantikan ayahnya tahun 1427-1447 M, jelasnya.

Ketika Arya Damarwulan meninggal dunia tahun 1437 M, sebenarnya Ratu Lembah akan ditarik pulang ke Demak oleh ayahnya, namun Dewi Kencana Wungu tidak mengijinkannya karena Ratu Lembah sudah dianggapnya sebagai kakak oleh Dewi Kencana Wungu dan diminta untuk mendampingi dirinya dalam mengelola Keraton Majapahit. Namun setelah seribu hari dari wafatnya Arya Damarwulan, Ratu Lembah diminta pulang oleh ayahnya dan dinikahkan dengan Sunan Ampel Demak yang bernama Syekh Maulana Muhammad Abuddin al-Maghribi pada tahun 1441 M/845 H, karena ayahnya membutuhkan generasi penerus untuk mengurusi Pesantren di Glagah Wangi Demak.

Ratu Lembah dan suami keduanya, Sunan Ampel Demak, urai AKA Hasan, memiliki peran penting dalam terbentuknya Dewan Walisongo maupun dalam terbentuknya Kerajaan Demak Bintoro. Karena pada tahun 1463 M/867 H dan tahun 1466 M/870 H pesantren milik ayahnya yang dikelola oleh suami keduanya ini dijadikan sebagai tempat musyawarah para wali se-Jawa yang pertama maupun yang kedua, sehingga terbentuklah Dewan Walisongo yang merupakan organisasi dakwah Islam pertama di tanah Jawa. Demikian pula pada tahun 1475 M/879 H, Pesantren Glagah Wangi Demak juga dijadikan tempat musyawarah para wali se-Jawa dan akhirnya terbentuklah Kerajaan Demak Bintoro.

Ratu Lembah adalah tokoh yang mengkoordinir para istri wali peserta musyawarah para wali se-Jawa yang pertama pada tahun 1463 M/867 H, maupun pada musyawarah para wali se-Jawa yang kedua tahun 1466 M/870 H sehingga terbentuklah Dewan Walisongo pada Hari Ahad Pon tanggal 14 Dzul Hijjah 870 H yang bertepatan dengan tanggal 27 Juli 1466 M. Dan Ratu Lembah juga tokoh yang mengkoordinir para istri wali se-Jawa ketika terjadi Sidang Walisongo kesembilan pada tanggal 11 -14 Dzul Hijjah 879 H atau bertepatan dengan tanggal 18-21 April 1475 M sehingga terbentuklah Kerajaan Demak Bintoro pada hari Jum’at Pon tanggal 14 Dzul Hijjah 879 H dan bertepatan dengan tanggal 21 April 1475 M yang diadakan di Pesantren Glagah Wangi Demak.

Selain itu, Ratu Lembah juga adalah saksi dilantiknya Raden Fatah sebagai Raja Demak Bintoro yang pertama yang pelantikannya dibarengkan dengan Ronggo Toh Joyo sebagai Patih Mangkubumi (Perdana Menteri) Kerajaan Demak Bintoro yang pertama, Laksamana Arya Damar sebagai Panglima Perang Angkatan Laut Kerajaan Demak Bintoro yang pertama, Jendral Abdurrahman Teuku Baha sebagai Panglima Perang Angkatan Darat Kerajaan Demak Bintoro yang pertama, serta Senopati Abdurrahman Botoputih sebagai Adipati Jepara yang pertama.

Oleh karena itu menurut AKA Hasan, Ratu Lembah adalah tokoh multitalenta, baik sebagai politisi dan guru yang luar biasa di zaman Kewalian maupun dimasa Kerajaan Demak Bintoro. Ketika suaminya, Sunan Ampel Demak, wafat pada tahun 1481 M/886 H, setahun kemudian seluruh hartanya dan juga rumahnya dihibahkan kepada Raden Fatah untuk dijadikan istana dalam perjuangan Islam di tanah Jawa agar Raden Fatah dengan leluasa dalam menyiapkan strategi perjuangannya sebagai raja di Kerajaan Demak Bintoro.

Setelah Ratu Lembah memberikan hibah seluruh hartanya untuk perjuangan di Kerajaan Demak Bintoro, kemudian pada tahun 1482 M/887 H ia hijrah ke Argopiloso dan bertapa di Bumi Pertapaan Ngandong selama tujuh tahun hingga akhirnya ia wafat pada tahun 1489 M/894 H dalam usianya yang ke-107 tahun. Jasadnya dimakamkan di Bumi Pertapaan Ngandong, diatas Belik Ngandong sekitar 50 meter atau sekitar 500 meter dari lokasi Air Tigarasa Rejenu, Desa Japan, Kecamatan Dawe, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.

Kontributor: Soleh/Red

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pertanyaan Keamanan *Batas waktu terlampaui. Harap lengkapi captcha sekali lagi.

LAINNYA
x