NU Online Demak
Tawaf termasuk rangkaian ibadah haji yang wajib dilakukan oleh jamaah haji. Tawaf adalah mengelilingi Ka’bah di Masjidil Haram, Makkah sebanyak tujuh kali. Ibadah ini dilakukan oleh umat Muslim sebagai bentuk penghormatan dan pengabdian kepada Allah SWT.
Tawaf mengandung makna ibadah yang sangat mendalam dalam Islam. Dalam melakukan tawaf, umat Muslim mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh putaran searah jarum jam. Ka’bah adalah kiblat umat Muslim di seluruh dunia, dan menjadi simbol kesatuan umat Islam.
Di sisi lain, tawaf juga merupakan momen yang menghadirkan perasaan persaudaraan dan persatuan di antara umat Muslim. Umat Muslim dari berbagai belahan dunia berkumpul di Masjidil Haram untuk melaksanakan tawaf bersama-sama. Hal ini mencerminkan keberagaman dan persatuan dalam agama Islam.
Seyogianya tawaf dilakukan dengan berjalan kaki, akan tetapi bagi beberapa lansia atau orang dengan keterbatasan fisik, melaksanakan tawaf dengan berjalan menjadi sulit atau tidak memungkinkan. Oleh karena itu, beberapa lansia memilih untuk melaksanakan tawaf menggunakan kursi roda. Lantas bagaimana hukum tawaf menggunakan kursi roda?
Hukum tawaf menggunakan kursi roda
Para ulama Islam terkemuka telah membahas isu ini dalam konteks kebutuhan aksesibilitas. Mereka sepakat bahwa individu yang mengalami keterbatasan fisik yang signifikan yang menghalangi mereka untuk berjalan atau berdiri dengan lancar dapat menggunakan kursi roda saat menjalankan tawaf. Alasan di balik pandangan ini adalah memastikan setiap Muslim memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam ibadah ini tanpa hambatan yang tidak perlu.
Imam Nawawi, salah satu ulama terkemuka dalam mazhab Syafi’i, menyatakan bahwa tawaf dengan kursi roda (tunggangan) diperbolehkan jika seseorang mengalami keterbatasan fisik yang memang menghalangi mereka dari berjalan atau berdiri. Pendapat ini didasarkan pada prinsip inklusi dan keadilan dalam Islam, di mana setiap individu harus diberikan kesempatan yang sama untuk melaksanakan ibadah. Imam Nawawi berkata:
فرْعٌ: ونقل الماوردي إجماع العلماء على أن طواف الماشي أولى من طواف الراكب، فلو طاف راكبا لعذر أو غيره، صح طوافه، ولا دم عليه عندنا في الحالين
Artinya: Cabang: Al-Mawardi berpendapat bahwa para ulama sepakat bahwa tawaf berjalan kaki lebih utama dari pada berkendara, jikalau tawaf dengan berkendara tanpa ada uzur atau ada uzur, maka sah tawafnya, dan tidak dikenakan kewajiban membayar dam, menurut kami dalam dua keadaan ini [uzur atau tidak ada uzur]. (Imam Nawawi, al Majmu’ Syarah al-Muhadzab, [Beirut; Dar Kutub Ilmiyah, 1971], hal. 30).
Sementara itu, Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm Jilid II, halaman 190 mengatakan bahwa melakukan tawaf menggunakan tunggangan atau penggunaan kursi roda diizinkan jika tawaf dengan berjalan akan menyebabkan kesulitan atau bahaya bagi jamaah tersebut. Misalnya, karena uzur disebabkan umur yang sudah tua atau orang yang memiliki masalah keseimbangan atau kelemahan otot yang signifikan yang bisa menyebabkan terjatuh atau cedera serius jika mencoba berjalan dalam kerumunan orang.
فَأَحَبُّ إلَيَّ أَنْ يَطُوفَ الرَّجُلُ بِالْبَيْتِ وَالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ مَاشِيًا إلَّا مِنْ عِلَّةٍ، وَإِنْ طَافَ رَاكِبًا مِنْ غَيْرِ عِلَّةٍ فَلَا إعَادَةَ عَلَيْهِ وَلَا فِدْيَةَ
Artinya: “Maka lebih aku sukai bahwa tawaf di baitullah [Ka’bah], sai antara shofa dan marwah dengan berjalan kaki, kecuali karena ada illat [sebab]. Pun ketika ia tawaf dengan menggunakan kendaraan tanpa ada illat, maka tidak perlu mengulangi tawafnya dan tidak pula perlu membayar fidyah”. (Imam Syafi’i, al-Umm, jilid II, [Beirut; Dar fikri, 1990], hal. 190)
Sementara itu Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni menjelaskan bahwa orang yang memiliki uzur [termasuk sakit dan lansia], diperbolehkan secara syariat untuk melaksanakan tawaf dengan cara ditandu atau menggunakan kendaraan sekuter atau kursi roda. Pun Jamaah haji tersebut tidak dikenakan bayar dam. Ia berkata: ومن طاف وسعى محمولا لعلة، أجزأه. لا نعلم بين أهل العلم خلافا في صحة طواف الراكب إذا كان له عذر، فإن ابن عباس روى أن النبي -صلى الله عليه وسلم- طاف في حجة الوداع على بعير، يستلم الركن بمحجن. وعن أم سلمة قالت: شكوت إلى رسول الله -صلى الله عليه وسلم- أني أشتكي، فقال: طوفي من وراء الناس، وأنت راكبة. متفق عليهما. وقال جابر: طاف النبي -صلى الله عليه وسلم- على راحلته بالبيت، وبين الصفا والمروة؛ ليراه الناس، وليشرف عليهم، وليسألوه، فإن الناس غشوه.
Artinya: Orang yang tawaf dan sai dengan dipikul karena ada illat [uzur], maka hukumnya adalah sah, tidak kami temukan di antara para pakar perbedaan pendapat pada keabsahan tawaf dengan berkendaraan, jika orang yang tawaf dalam keadaan uzur. Maka ada riwayat yang bersumber dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW, tawaf pada haji wada’ di atas unta sambil menyalami rukun Yamani dengan tongkat. Dan dari Ummu Salamah, dia berkata: ‘Saya mengadu kepada Rasulullah bahwa saya sedang sakit. Kemudian Rasulullah berkata, ‘Thawaflah di belakang manusia dalam keadaan kamu berkendara. Muttafaqun alaihima. Dan berkata Jabir;: Nabi SAW melakukan tawaf dengan untanya, antara Safa dan Marwah agar orang-orang melihatnya, mengawasi mereka, dan bertanya kepadanya, karena orang-orang ragu (tidak mengetahui).
Dengan demikian dalam Islam, aksesibilitas dan inklusi adalah nilai-nilai yang sangat dihargai. Dalam konteks ibadah tawaf, penggunaan kursi roda atau skuter oleh individu dengan keterbatasan fisik yang signifikan diperbolehkan agar mereka dapat berpartisipasi secara penuh dalam ritual tersebut. Para ulama telah memperhatikan perlunya memberikan aksesibilitas yang sama kepada semua individu, dan mereka telah mengemukakan pandangan yang mendukung penggunaan kursi roda dalam tawaf.
Ustadz Zainuddin Lubis, Pegiat kajian Islam, tinggal di Ciputat.
Sumber : NU Online/Redaksi